Abigail

11 4 5
                                    

"Pagi," sapa aku dengan senyum lebar.

"Kamu nggak pasang jam dengan benar, ya?" Suaranya saat bangun tidur selalu berhasil menggetarkan hatiku.

Kembali aku tersenyum. Bahkan sedikit tertawa. Tidak perlu meminta maaf, dia tahu kecerobohanku dan keusilanku saat ini.

"Abigail tidur nyenyak, kah?" tanyaku ragu. Ia langsung menggeserkan posisi kamera ke arah tempat tidur. Sekilas kulihat wajah mungil yang bersembunyi di balik selimut.

"Kemarin dia membuat tulisan ini." Pria di balik layar ponselku itu memperhatikan selembar kertas dengan tulisan warna warni dan agak acak-acakan.

"Nggak kelihatan. Nanti kamu foto saja lalu kirim ke whatsapp-ku," ujarku berbohong. Sejak kapan FaceTime tidak sejernih ini. Bahkan setitik jerawat saja bisa nampak jelas, apalagi hanya tulisan di atas kertas.

"Kamu baik-baik saja?" Entah mengapa pertanyaannya kali ini membuat dadaku berdegub kencang. Dapatkah aku kembali berbohong padanya?

"Aku bermimpi buruk tentanmu belakangan hari ini," tambahnya.

"That's just a dream."

Ada hening beberapa detik yang aku pergunakan untuk memandangi wajahnya yang semakin menua. 10 tahun berlalu, wajar saja bila tumbuh uban di kepalanya dan kerut halus di pelipisnya.

"Abigail akan daftar sekolah besok," ujarnya tiba-tiba.

"Are you serious?"

Pria itu mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang meluluhkan hatiku sejak 12 tahun yang lalu.

"Kamu yang memaksa?"

"Dia yang memaksa."

Aku semakin terkejut. Namun sesuatu yang menempel di punggungku membuat rasa terkejutku semakin menjadi.

"Sayang, sudah dulu ya. Aku pamit. Salam sayangku untuk Abigail." Buru-buru aku menutup panggilan video call tersebut tanpa memandangi sorot matanya lagi.

Sejurus kemudian, aku mendengar suara pelatuk yang ditarik perlahan bersamaan dengan pesan gambar yang masuk ke ponselku.

'AKU KANGEN BUNDA. AKU MAU SEKOLAH BIAR BISA SUSUL BUNDA KE JERMAN.'

Tulisan Abigail dengan pensil warna warni dan huruf kapital yang belum rapi, membuatku tersenyum sekaligus menangis.

Aku merasa beruntung karena masih menggenggam ponsel dan sempat membuka kunci layarnya. Aku merasa beruntung karena masih bisa membaca pesan dari anakku yang mungkin tidak akan pernah aku temui lagi.

"Maafkan, Bunda, Abigail." Kalimat itu yang terakhir aku bisikkan sebelum cairan berwarna merah merembes dari balik kemejaku.

Round and RoundWhere stories live. Discover now