Ouia menggosok lehernya. "Uhm ...."

"Dia tahu." Lagi-lagi Sadewa yang bicara. "Dia tidak menyalahkan ketidaktahuanku saat masih berumur lima belas, tapi menyalahkan cara berpikirku yang sempit lima tahun kemudian."

Sang nenek kehilangan kata. "Ouia ...."

Sadewa merangkul bahu putrinya yang langsung merasa kesal dan berusaha melepaskan diri. Hangat dia tertawa tanpa merasa tersinggung dengan sikap Ouia yang terlihat marah kepadanya gara-gara bicara terus terang.

"Jangan marah dong, anak Babeh. Babeh bangga dengan pemikiran kamu itu, makanya cerita ke Eyang," katanya, lalu menoleh pada ibunya. "Ouia betul, Ma, saat aku diungsikan ke rumah Eyang sewaktu umur lima belas, aku enggak bersalah kalau enggak tahu apa pun soal Aurel dan Ouia karena saat itu aku masih belum dewasa dan sedang marah besar karena mengira kalau aku dibuang.

"Tapi, lima tahun kemudian saat aku dewasa, harusnya aku bisa berpikir dengan lebih jernih dan bisa menduga konsekuensi apa kira-kira yang timbul dari perbuatanku dan Aurel, lalu mencari tahu lebih lanjut. Karena aku tidak melakukannya dan terus mengisolasi diri sendiri dalam duniaku, maka Aurel dan Ouia yang jadi korban."

"Dewa ...." Air mata mulai mengalir di pipi ibunda Sadewa.

Sadewa tersenyum. "Maaf karena butuh lama bagiku untuk benar-benar dewasa, dan maaf karena pikiranku baru bisa terbuka setelah bertemu Ouia di usia sekarang."

Ibunya mengangguk sambil menyeka air mata. "Setidaknya kamu sudah memaafkan Mama meski Mama sudah sangat bersalah, Dewa."

Sadewa menggeleng. "Seperti kata Ouia, aku juga salah." Dia menoleh pada putrinya. "Terima kasih ya, Sayang. Kamu sudah membuka mata Babeh. Kamu anak yang jauh lebih dewasa dari Babeh dan mami kamu di usia yang sama. Bukan begitu, Ma?"

"Iya, Wa. Eyang bangga sekali pada Ouia," sahut ibunya sambil menyusut air mata.

Ouia hanya bisa cengar-cengir tanpa tahu harus menjawab. Dia menggaruk kepalanya dan berharap ada Boni dan Said di situ untuk membantunya lepas dari situasi canggung ini.

Belum tahu harus bersikap bagaimana, ayahnya malah mengusap pipinya hangat.

"Ou ... Babeh kan sudah lebih dewasa sekarang, lebih bijak juga daripada dulu, kira-kira ... Babeh sudah layak dipanggil papi, belum?" tanyanya dengan sorot mata berharap.

Ouia termangu, lalu ketegasan kembali ke ekspresinya. Dia menggeleng mantap dan menatap tajam sang ayah. "Belum. Kecuali Babeh sanggup meluluhkan Mami dan kalian menikah, baru aku panggil papi," jawabnya lantang.

Sadewa termangu, sementara sang nenek menoleh ke arah Nakula yang kini berdiri di ambang pintu, berniat untuk masuk ke ruangan, tetapi tidak jadi. Wajahnya dihiasi ekspresi kekecewaan, dan ibunya tahu, kakak Sadewa itu pasti mendengar kalimat Ouia dengan lengkap.

******

Aurel duduk mengayunkan kaki di panggung kayu kecil seraya memandang ke tengah kolam ikan tempatnya berada saat ini. Pikirannya melayang, benaknya dipenuhi berbagai hal sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ibunda kedua sahabatnya.

Ibunda Nakula dan Sadewa memilih tinggal di rumah dengan kolam ikan air tawar ini sejak keluarganya terpuruk dan sang suami meninggal dunia. Beliau menyambung kehidupan dan menafkahi Nakula dengan hasil menjual ikan di pasar, sedangkan Arjuna sang sulung, kabur ke luar negeri dan Sadewa tinggal dengan kakek dan neneknya.

Meski menganggap kesulitan hidup yang dialaminya sebagai hukuman karena telah membiarkan pihak Aurel menghadapi sendiri konsekuensi perbuatan salahnya bersama Sadewa dulu, Aurel mengerti kalau beliau tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Ibu mana yang bersedia melihat putranya menghancurkan hidup sendiri dengan menanggung beban yang lebih berat dari yang mampu ditanggungnya di usia belia? Aurel yakin, kalau saja dia dan orangtuanya punya pilihan yang lebih baik, tentu mereka pun tidak akan membiarkan Aurel menjalani semua kesulitan hidup di masa lampau dengan melahirkan Ouia. Hanya saja, terkadang hidup tidak selalu sesuai dengan keinginan, dan pilihan tidak selalu tersedia.

Itulah sebabnya, mengetahui seberat itu beban perasaan bersalah yang ditanggung sahabat Elise itu, mau tak mau hati Aurel pun terenyuh. Kasihan sekali ibunda Sadewa, pasti saat akhirnya bertemu Aurel dan Ouia, dan mengetahui kalau mereka telah memaafkannya, barulah beban berat itu terlepas. Saat itu, Aurel memahami satu hal, meski kehidupan begitu berat dan keras, dia dan keluarganya beruntung karena memiliki satu sama lain dan saling mendukung. Tidak seperti ibunda Sadewa yang harus berkubang dalam rasa bersalah sendirian.

"Ngelihatin apa, Rel?"

Aurel menoleh dan mendapati Nakula yang berdiri di belakangnya. Dia tersenyum. "Kolam nyokap lo. Dari tadi ikannya lompat-lompat bikin gue kepengen nyebur kayak dulu," katanya. Dia menepuk sebelahnya. "Sini, duduk sini."

Nakula duduk di sebelahnya dan menghela napas. "Lo betulan enggak marah sama Nyokap, ya?"

Aurel mengangguk. "Enggaklah. Ngapain pake marah, sih? Enggak sepenuhnya salah nyokap lo kali. Biar gimana, ngerti ataupun enggak, tetap gue dan Sadewa yang paling salah."

Nakula tersenyum. Inilah Aurel yang dari dulu dikenalnya. Dia mungkin tidak feminin, mudah marah, dan lebih cepat bicara ketimbang berpikir, tetapi, hatinya selalu baik, mudah memaafkan, dan mampu mengambil sisi positif dari setiap hal. Itu juga yang selalu disukainya dari sang sahabat.

Aurel menjenguk ke belakang, mencari-cari. "Sadewa sama Ou ke mana? Biasanya Ou seneng banget ketemu kolam yang banyak ikannya gini. Dia sering banget bantuin Said nguras empang engkongnya, dan pulang bawa ikan mas atau gurame goreng."

"Ouia lucu, ya?" komentar Nakula. Dia menimbang sejenak. "Dia dan Sadewa sedang bicara dengan Mama. Barusan gue dengar Ouia nyuruh Sadewa untuk meluluhkan hati lo dan nikah sama lo kalau dia mau dipanggil papi. Menurut lo?"

Aurel tertegun, tatapannya beradu dengan Nakula yang sedang menilai, apakah perlu baginya mengatakan isi hati yang disimpannya selama ini.

Atau ... haruskah dia diam?

Bersambung.

Uhuy ... kasihan banget emang Nakula, padahal kurang baik apa dia?

So, mau ngingetin aja nih, ini udah pertengahan bulan Juni, kalian udah nabung buat ikutan pre-order Sang Penantang Badai kan? Jangan sampe ketinggalan loh, rugi!

Makasih banyak udah mampir, jangan lupa selalu taati prokes Covid-19 karena Covid kayaknya makin bandel dan bukannya pergi, dan jangan lupa, selalu semangat dan bersyukur, dan pedulikan mereka yang ada di sekitar.

Winny
Tajurhalang Bogor 15 Juni 2021


Seleksi Ayah (Cerita Ouia)Where stories live. Discover now