Butuh Waktu

9.1K 2K 197
                                    

Malem epribadeh!

Ada yang nunggu apdetan? Ouia dulu ye. Betewe, eike bacain komen kalian baru aja, tapi blom sempet bales semua, maaf ye. Maklum, penulis juga bisa bingung loh jawab komen, hehehe.

For now, enjoy.

********

Sadewa melirik diam-diam pada Ouia sambil berusaha menahan debar jantungnya. Anaknya, pikirnya. Cantik, sehat, dan tampak cerdas. Rasanya bangga sekali.

"Wa ... woi, jadi ngomong enggak sama si Ouia?" tanya Aurel sambil melambai di depan Sadewa.

Sadewa mengerjap cepat. "Oh ... iya, jadi. Tapi ...."

Aurel memandangnya sambil tersenyum penuh pengertian. "Lo deg-degan ngomong sama anak sendiri? Hehehe ... ya udah, pelan-pelan aja deh. Tapi ... gue tinggal kerja enggak pa-pa, kan? Udah waktunya gue jalan, nih."

Perhatian Sadewa langsung teralih pada sahabatnya itu. "Lo mau kerja? Kerja di mana? Kerja apa?"

Aurel bangkit. "Di daerah Kuningan. Sekuriti."

"Sekuriti?" seru Nakula dan Sadewa bersamaan.

Sadewa menoleh pada Nakula sebentar, lalu kembali memandang Aurel yang cengengesan. "Kok sekuriti? Lo kan cewek?" tanyanya bingung.

"Kenapa? Belum pernah lihat sekuriti cewek?"

Sadewa menggaruk kepalanya. "Tapi ... itu pekerjaan yang bahaya, Rel. Kalau ada apa-apa...."

"Bahaya apaan, sih? Kalau gue yang jadi sekuriti bahaya apaan juga nyingkir. Aurel gitu, loh. Ban item karate plus mantan atlet anggar daerah, mana berani bahaya deket-deket?"

Sadewa dan Nakula ternganga. Mereka tidak lupa kalau Aurel bukan perempuan feminin, tapi tak mengira kalau dia setangguh itu.

"Lo ban item karate?" Nakula yang bertanya.

"Dan pernah jadi atlet anggar?" sambung Sadewa.

Aurel mengangguk. "Waktu SMA. Sayang aja, gue gagal masuk polisi karena pernah melahirkan."

Sadewa dan Nakula kembali terdiam.

"Maaf, Rel," ucap Sadewa lirih. Hatinya sakit bukan main menyadari kalau kesalahannya berdampak begitu besar pada hidup Aurel.

Aurel berdecak. "Udah, sih. Kita salahnya bareng-bareng, kok. Bukan lo doang. So, gue siap-siap jalan, ya? Lo ngomong dulu deh sama Ouia."

"Tapi kan gue juga pengen ngomong sama lo. Banyak yang mesti kita omongin, Rel." Sadewa ikut bangkit. Ekspresinya benar-benar keberatan kalau Aurel pergi.

Aurel menghela napas. "Gue harus kerja, Oncom. Lagian, kita punya banyak waktu kalo mau ngomong. Gimana kalo pas gue off? Selasa gue off, lo bisa ke sini," usulnya.

Sadewa ragu sejenak. "Oke. Gue dateng lagi Selasa nanti."

"Nah."

"Gue anter lo, biar Sadewa ngomong dulu sama Ouia," kata Nakula cepat. Dia bangkit dan meraih kunci motornya. "Sekalian gue pengen tahu tempat kerja lo."

Aurel mencibir. "Emang kalo tahu kenapa, Tong?"

Nakula tersenyum. "Biar gue dan Sadewa bisa mastiin, kerjaan lo terlalu bahaya atau enggak. Bagaimanapun, kita semua bertanggung jawab untuk memastikan kehidupan Ouia sejahtera dan nyaman, jadi keamanan ibunya juga harus dipastikan."

"Ckckck ... bahasa lo, Tong. Udah, ah, gue telat nanti. Kita ngomong kalo udah lowong aje, ye."

"Mi ...." Ouia yang sejak tadi diam memanggil.

Seleksi Ayah (Cerita Ouia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang