46. Ditelan Kabut

242 47 3
                                    

Semesta

Perintah penutupan Gunung Argopuro masih belum dicabut ketika pencarian mandiri dimulai. Kali ini, tim kami memilih membuka posko di Sabana Lonceng untuk memfokuskan pencarian di daerah sekitar puncak yang belum seluruhnya tersisir. Aji, Fandi, Riyan, dan orang-orang Ekspedisi Atap Tanah Jawa masih setia ikut. Mereka menolak mentah-mentah digantikan relawan Tamu Alam lain. Wanadri, dan Mapala dari beberapa universitas yang kemarin ikut dalam Open SAR Basarnas juga kembali ikut bergabung bersama relawan lokal.

Di Danau Taman Hidup, Basarnas juga membuka posko pusat komando. Segala aktivitas pencarian mereka pantau. Semua langkah dan keputusan tim kami, ikut dikomunikasikan dengan Pak Sutoyo.

Hari itu kami kembali ke Kawah Sijeding di antara Puncak Rengganis dan Puncak Hyang. Tim dipecah menjadi dua. Satu tim akan menyisir lembah di dekat Puncak Rengganis. Sementara satu tim lainnya akan ada di Sijeding, mengupayakan untuk turun dan menyisir bersih daerah itu.

Aku dan Banda ada di tim kedua. Sejak pagi tekad kami sudah sama-sama bulat, kami harus bisa turun hari ini. Semua peralatan juga sudah disiapkan untuk menuruni lembah. Namun, lagi-lagi cuaca jadi musuh terburuk. Belum selesai peralatan disiapkan, mendung kembali menggantung.

"HT Mas Semesta ke mana? Dicari Mas Aji. Kok enggak jawab dari tadi?" Riyan berlari menghampiriku. Peluh membasahi keningnya.

Aku buru-buru mengecek HT di saku kemeja. Mati total. Padahal baterainya baru saja diganti. Mustahil energinya sudah habis.

"Kayaknya ini rusak."

"Mas Aji mau turunkan anjing pelacak."

Aku melesakkan HT rusak milikku ke dada Riyan. "Aku ke sana dulu. Kamu bantu Banda pasang tambatan buat turun di pohon cemara itu. Bikin dua! Jangan pakai tali itu, sudah enggak layak pakai. Kamu bisa enggak? Katanya bagian ngurus logistik, tapi malah bawa alat rusak!" Serangkaian perintah aku katakan kepada Riyan sebelum tergopoh berlari meniti punggungan bukit menuju Puncak Rengganis.

"Beres!" Teriakan Riyan meningkahi jarak di antara kami.

Dari awal aku menolak ide melibatkan Detasemen Anjing Pelacak K-9, bantuan dari Polres Probolinggo. Menerimanya berarti setuju kepada kemungkinan bahwa Adara sudah jadi mayat. Aku enggak suka, sekaligus menolaknya mentah-mentah. Namun, ini prosedur yang harus dilakukan. Lagi pula Aji tetap ketua tim pencarian ini, aku enggak bisa membantah keputusannya.

Seekor anjing Labrador duduk patuh di samping seorang pawang polisi satwa. Aji berbincang bersama beberapa relawan lain, memperhitungkan langkah selanjutnya.

"Aku akan kasih sarung tangan Adara. Kita akan sisir lembah di bawahnya Rengganis." kata Aji begitu melihatku. Ada sarung tangan Adara berbungkus plastik di satu tangannya.

Dalam hati aku kurang setuju. Enggak ada jejak ditemukan di sana. Baik pencarian ini atau sebelumnya, SRU sudah berkali-kali menyisir tempat itu.

"Aku panggil di HT kenapa enggak jawab?" tanya Aji lagi.

"Rusak."

"Kamu bakal tetap turun ke bawah?"

"Semua cara. Semua tempat, Ji," aku memperingatkannya. "kamu sisir tempat ini, aku akan turun."

"Bawa HT Riyan waktu turun. Jangan sampai lepas komunikasi." Untuk sesaat Aji mendongak menatap langit makin mendung di atas kepala. "Jangan maksa kalau kondisinya buruk."

Aku mengangguk. Ketika akan kembali ke Sijeding, Aji kembali menahan lenganku.

"Ta," bisik Aji. "aku serius. Hati-hati."

"Aku cuma turun. Gampang lah! Enggak perlu terlalu khawatir."

Jangan pernah menyelepekan alam. Dahulu, kalimat itu selalu kukatakan kepada Adara setiap kali kami pergi mendaki. Bukan hanya diri perlu dijaga ketika beraktivitas di alam bebas, tetapi mulut juga. Sekaligus sikap rendah hati. Karena sejatinya kita bukan siapa-siapa di hadapan alam. Barusan, aku sudah melanggar perkataanku sendiri.

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now