36. Sijeding

209 49 0
                                    

Semesta

Pikiranku melayang entah ke mana sambil menatap kabut merayap naik dari dasar lembah. Hutan terlalu sunyi, angin menderu hebat, kabut terlalu tebal dan jarak pandang di bawah terbatas. Namun, semua itu enggak menghentikan kami menyiapkan segala peralatan.

Aji berkali-kali mengalihkan mukanya ke arahku sambil memeriksa tali karmentel untuk menuruni tebing. "Ta! Malah ngelamun!"

Aku mengerjap. Hardness sudah terpasang di punggung, berikut webbing di pinggang. Tinggal tunggu waktu pas buat turun ke bawah.

Kabut terlalu tebal. Izin belum turun dari Ical. Sementara mendung menggantung tebal sejak pagi. Setiap kali mau angkat alat, kabut selau naik. Perkataan Pamungkas kemarin tiba-tiba hadir. Kali ini, belum juga selesai siap-siap, angin kencang menyerbu Kawah Sijeding.

Dari bibir lembah, aku bahkan enggak bisa melihat sampai dasar. Sijeding sepenuhnya tersembunyi di balik tabir putih. Bakal sulit menentukan pijakan seandainya turun sekarang. Kalau enggak terutup awan, matahari mungkin sudah tepat di atas kepala. Waktu adalah hal yang enggak kami miliki.

"Aku bisa turun sekarang." Perkataanku barusan bukan permintaan kepada Aji.

Aji menyerahkan tali karmentel pada Fandi. "Belum ada izin. Tunggu sebentar lagi sampai kabut hilang sedikit."

Aku berdecak kesal. Kutendang batu kecil di ujung sepatu sampai terjun bebas ke bawah. Kabut dengan senang hati menelannya.

HT di saku Riyan berbunyi. "OSC ke Aji. Monitor?"

"Masuk, Mas." Aji menjawab lewat HT di tangannya sendiri.

"Rengganis mulai gerimis."

Aji mendongak menatap langit. Matanya terpejam kesal. Ini akan jadi hari yang sulit. Enggak lama setelah komunikasi terakhir dengan posko, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi daerah di antara Puncak Rengganis dan Hyang tempat kami menunggu. Tali karmentel yang sudah dibentangkan kembali digulung.

Orang-orang mulai kembali mengeluarkan jas hujan kecuali aku. Kalau pakai jas hujan sekarang bakalan repot. Hardness sama webbing sudah terpasang. Malah repot kalau nanti tiba-tiba izin buat turun kami dapat. Aku merelakan tubuhku dipeluk hujan, daripada menyia-nyiakan kesempatan.

Kesempatan ternyata adalah hal paling langka untuk didapatkan hari itu. Hujan enggak melunak. Sekali lagi badai datang. Petir menyambar di atas lapisan awan, dan mendung meredam suaranya. Dewa hujan enggak pelit-pelit menumpahkan airnya. Kabut memang telah hilang, digantikan hujan lebat disertai angin, tetapi jarak pandang tetap terbatas.

"OSC ke semua SRU, batalkan operasi. Cuaca tidak memungkinkan."

Aji menolek kepadaku. Kami saling bertukar pandang, ia tahu enggak akan ada yang bisa menghentikanku, badai sekali pun.

Aku meraih descender, mengaitkannya ke webbing di pinggang bersama dengan karabiner di depannya. Aji meraih pundakku, membalikkan tubuhku keras dengan tangan kekarnya.

"Mau apa?"

Air hujan membasahi tudung kepala jas hujannya. Wajah kami berdekatan, tetapi hujan lebat membuat kabur pandanganku.

"Turun," kataku ketus.

"Kamu enggak lihat ini lagi hujan? Pakai jas hujan, Ta! Jangan sampai kena hipo!"

"Aku rela kena hipo asalkan bisa ambil Adara di bawah sana!"

"Kamu enggak waras, Ta! Kamu pikir cuma kamu yang mau turun sekarang?"

"Buktinya kalian diam saja!"

"Bangsat!" tinju Aji menghantam pipiku keras. Beberapa orang sudah maju untuk melerai kami, tetapi sempat kulihat lengan Cak Arip terulur untuk mencegah.

"Biarkan saja mereka!" teriak Cak Arip kepada semua orang. "Cuma main tonjok-tonjokan saja. Enggak bakal mati, paling cuma pingsan."

Bibirku terkoyak. Aku bisa merasakan rasa besi di mulut. Bertengkar sama Aji sekarang sia-sia. Kuraih tali karmentel dan mulai mengikatkannya di pohon cemara hutan dekat bibir tebing.

"Kamu pikir aku enggak tahu ini kesempatan terakhir kita? Kamu memang lelaki egois. Pantas Adara ninggalin kamu."

"Apa kamu bilang?" tanyaku enggak terima. Kuletakkan kembali tali karmentel di tanah berlumpur.

"Adara meninggalkan kamu karena kamu egois," ucap Aji seolah menantang. "kamu cuma memikirkan diri sendiri. Satu-satunya yang kamu pedulikan adalah menemukan Adara karena kamu merasa bersalah sama dia!"

"Diam!" bentakku.

Aji sama sekali enggak gentar. Ia malah melanjutkan, "Kamu sudah terlambat, Ta! Kamu pikir bisa cari dia untuk menebus segala kesalahan kamu? Kamu salah! Bukan begini caranya! Dia pasti enggak mau kamu atau teman-temannya terluka. Sekali saja, pikirkan orang lain selain diri kamu sendiri." Jari telunjuk Aji menohok dadaku keras, mendorong tubuh lunglaiku.

Aji berbalik meninggalkanku, melihat punggungnya menjauh pikiranku menjadi kosong. Dia benar, aku memang sudah terlambat. Bersikap sok pahlawan buat mencari Adara enggak akan mengembalikan tahun-tahun tanpa saling tatap yang kami sia-siakan. Namun, aku masih belum mau menyerah. Kuraih kembali tali karmentel dan mulai mengingatkannya di tambatan.

"Semesta!" Tinju Aji kembali mendarat di pipiku. Ditariknya tubuhku sejauh mungkin dari bibir lembah dan dijatuhkannya ke tanah berlumpur. Tubuhku bermandikan lumpur dalam sekejap. Sekali lagi Aji menampar pipiku, membuatku tersungkur di tanah berbatu lalu memitingku dengan tubuh besarnya.

"Aku sudah kehilangan Adara, jangan bikin aku kehilangan kamu juga!" pinta Aji keras.

Tanganku mencekik lehernya dan memberinya tinju di perut. Aji mengerang. Aku berbalik, kali ini giliranku memitingnya. Sekali lagi kulemparkan tinju ke perutnya. Begitu tubuhnya tersungkur enggak berdaya, aku berdiri untuk kembali meraih tali karmentel.

Aji belum menyerah. Ia bangkit dan mencengkeram kemejaku yang sudah basah kuyup. Wajah kami enggak berjarak, rintik air hujan membasahi rambut panjangku, begitu pula wajah Aji. Lumpur memenuhi wajahnya dan hujan cepat membasuhnya.

"Jangan dekat-dekat sama lembah!"

Peringatan Cak Arip terlambat. Aku merasa kakiku mendorong bongkahan batu, sebelum tanah tempat kami berpijak runtuh karena longsoran kecil. Cengkeraman tangan Aji di kemejaku mengerat dan ia menarikku tepat waktu. Kembali melemparku ke tanah, kali ini jauh-jauh dari bibir lembah.

Dilihatnya longsoran kecil yang kami buat. Lalu ia bergabung denganku, duduk di sampingku dengan napas terengah.

Cak Arip masih meminta semua orang buat enggak ikut campur. Kali ini, ganti dia berteriak kepada kami. "Ical suruh kita semua balik! Perintah penarikan semua SRU. Kita akan balik ke Bermi."

Aji memilih mengabaikannya. Napas kami masih memburu, dan enggak ada satu pun yang bergerak.

"Aku sudah janji sama kamu akan cari Adara." Aji menelan ludah. Aku bisa melihat pipinya terluka karena tonjokanku. "Kamu tentu masih ingat janjiku waktu mau mendaki sama Adara dulu. Aku akan jagain dia. Sampai sekarang aku belum lupa janji itu, Ta."

Senyum Adara tiba-tiba membayang jelas di pelupuk mata. Hujan mungkin menyembunyikan air mataku, tetapi enggak akan bisa menyembunyikan tubuhku yang bergetar dan segala emosi yang sudah kutahan sekian lama. Aji menepuk punggungku keras, setiap tepukannya seolah ikut mendorong segala rasa. Hanya dalam hujan, aku berani menangis.

"ADARAAAAA!!" teriakku sekeras mungkin. Di saat bersamaan petir menyambar tepat di atas kepala. Langit dan seisinya seolah ikut marah bersamaku hari itu. Kepalan tanganku menghujam ke dalam tanah gembur. Buku-buku tanganku memutih, tanah tanpa dosa terpaksa jadi pelampiasan tinjuku berkali-kali. Meninggalkan Adara di sini adalah pilihan terberat. Sekali lagi, aku gagal jadi lelaki untuknya. 

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang