23. Sebuah Ajakan

227 39 1
                                    

Adara

Perjalanan turun ke basecamp Patak Banteng adalah sebuah penyiksaan. Aku tidak ingat bagaimana bisa menyeret kakiku sampai bawah. Begitu sampai, kakiku malah makin bengkak dan rasa nyerinya makin parah. Pihak basecamp bertanya apakah ada keluarga atau teman dekat yang bisa mereka hubungi. Hanya ada satu nama terbesit dalam pikiranku. Namun, alih-alih menghubunginya aku malah menghubungi Aji.

Aji segera mengontak salah seorang temannya yang tinggal di Dieng supaya bisa membawaku ke klinik terdekat untuk pertolongan darurat. Aku tidak berpikir kalau Aji akan mengatakan sesuatu kepada Semesta.

Hari ketika aku pulang, seharusnya Mika yang menjemputku di stasiun. Namun, betapa bingungnya aku ketika mendapat sebaris pesan masuk dari Semesta sebelum keretaku masuk ke peron stasiun.

Aku jemput.

Seperti isi pesannya, Semesta sudah berdiri di pintu kedatangan Stasiun Gubeng. Matanya sibuk mencari di antara lautan penumpang baru datang. Tatkala menangkap sosokku, ia berlari menghampiri. Langkahnya terhenti setelah melihatku berjalan terseok-seok sambil menyeret tas.

Raut mukanya berubah keras. Ia melihat kakiku tidak suka, tidak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Matanya malah terpaku pada sepasang sepatu lari yang aku ikat di samping tas karena isi carrier sudah penuh.

"Kamu naik pakai sepatu itu?" tanyanya ketus.

"Iya," jawabku singkat dan wajah Semesta berubah makin keras.

"Berapa kali aku bilang naik gunung harus pakai sepatu gunung. Jangan sepatu ke mal malah dipakai," gumamnya dengan bibir terkatup. Tanpa persetujuanku dia menyambar begitu saja tas carrier dari pundakku.

Semesta paling tidak bisa menoleransi pelanggaran prosedur pendakian. Geraman pelan keluar dari mulutnya, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Dahinya berkerut, rahangnya bergerak-gerak, dan wajahnya terlihat frustasi.

Aku kepayahan mengikuti langkah cepatnya menuju mobil. Sikap diam membuatnya terlihat lebih marah. Seharusnya aku yang sedang marah padanya, aku berhak melakukan itu setelah perkataanya tempo hari. Namun, kenapa sekarang malah aku merasa sebaliknya?

Perjalanan pulang berlalu dalam keheningan. Sesampainya di depan rumah, Semesta tidak membukakan kunci pintu mobil untukku. Ia menatap lurus, buku-buku jarinya erat menggenggam kemudi.

"Kenapa enggak minta jemput aku?" tanya Semesta sedikit berang.

Karena kita lagi marahan. Aku menjawab dalam hati. "Aku bisa pulang sendiri," jawabku ketus.

"Kenapa enggak pakai sepatu gunung ...." Semesta menelusurkan jemarinya di kepalanya frustasi. "Ya ampun Adara, aku mesti apa sama kamu?" Ia bertanya kepada dirinya sendiri.

"Memang salahku enggak hati-hati. bukan salah kamu kok kakiku terkilir," sahutku ketus.

"Bisa jadi lebih buruk. Kenapa kamu malah telepon Aji? Kamu pikir aku ini apa?" Semesta melihatku dengan tatapan terluka.

"Oke, aku memang salah enggak pakai sepatu gunung. Aku udah sakit begini masih saja kamu salahin. Kalau kamu cuma mau marah-marah, mendingan enggak usah jemput saja tadi." Aku membuka pintu mobil dan membantingnya keras.

Dadaku terasa sesak, dan mataku kembali panas. Aku merindukannya setengah mati sampai rasanya tidak bisa bernapas. Aku benci harus mengulang hal sama, bertengkar lagi dengan Semesta di saat aku justru ingin menghambur ke dalam pelukannya.

"Bukain pintunya!" teriakku sambil menggedor pintu belakang untuk mengambil tasku.

Semesta turun dari mobil dan mengambil sendiri tasku. Aku terpincang-pincang masuk ke dalam halaman rumah tanpa bisa menahan air mataku lebih lama lagi.

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now