37. Jembatan Dua Hati

213 44 2
                                    


Adara

Puncak Bintang ditulis bukan sekadar untuk mengabadikan kenanganku bersama Semesta. Lebih dari itu, buku itu adalah ungkapan cintaku.

Lewat kata-kata, aku ingin selalu mengingat bagaimana aku mencintai Semesta. Bahwa di samping segala ketidakcocokan kami, segala perselisihan pendapat, aku mencintainya lebih dari apa pun. Aku ingin Semesta tahu, aku bisa menyeberangi segala perbedaan itu, agar aku bisa berdiri di sisinya. Meski itu artinya, aku harus berkorban dan berkompromi terhadap perbedaan-perbedaan kami, tidak masalah bagiku. Aku bisa melakukannya, asalkan di awal dan akhir sebuah hari, aku bersandar di bahu Semesta sambil memandang matahari datang dan pergi.

Semesta gagal melihatnya. Aku sudah mencoba, untuk menyeberang ke sisinya, sedikit demi sedikit mengubah pendapatku, pendirianku, bahkan sumpah pada diriku sendiri. Namun, pada akhirnya jurang perbedaan kami lebih besar.

Ada lubang hitam menganga di antara kami. Andaikan salah satu mencoba kembali menyebrang ke sisi lainnya, lubang hitam itu seperti siap menerkam dan menarik salah satu dari kami ke dalam sisi terkelamnya. Kami sudah mencoba, menjadikan apa pun sebagai jembatan. Hanya saja pondasinya terlalu rapuh, dan jembatan itu berakhir hancur.

Cinta, sekuat apa pun itu, harus bisa menggelarkan jembatan bagi kedua hati. Tak peduli sekuat apa pun badainya, titian itu akan bertahan. Asalkan keduanya juga saling menjaga keseimbangan di tengah-tengah.

Apa yang sudah terjadi sama kita, Kebo?

Semesta pernah mengatakan kepadaku bahwa seseorang akan melihat jati diri dan sifat aslinya ketika berada di alam. Semesta memang menjadi dirinya sendiri sewaktu bercumbu dengan bumi. Dia tangguh, sabar, berhati-hati dan tidak peduli betapa keras alam menempanya, di mataku dia tetap pria yang hangat. Namun, peradaban mengubur semua itu dari dirinya. Semesta ketika di alam bebas dan di tengah peradaban adalah dua orang yang bebeda. Versi terbaik Semesta hanya muncul ketika dia bergaul dengan alam. Kurasa aku jatuh cinta kepada Semesta yang itu.

Lebih baik aku mundur.

Detik itu aku merasa seluruh duniaku runtuh. Mimpi yang telah kami bangun lenyap dalam semalam. Mundur adalah pilihan Semesta, ketika pilihan itu bahkan tidak pernah terbesit dalam pikiranku.

Kita memang tidak pernah cocok sebagai pasangan.

Bukan hanya aku yang lelah di hubungan ini. Ternyata Semesta juga lelah. Dia benar, kami memang terlalu berbeda. Cara kami mencintai terlalu berbeda. Kami gagal memahami perasaan masing-masing hingga segala rasa yang sudah dipendam itu meledak dan menggiring pada kehancuran.

Kupikir selama ini hanya aku yang lelah. Kupikir aku yang selalu berjuang dalam hubungan kami, menuntut Semesta memberikan perhatiannya kepadaku, memintanya menjadi lelaki seperti yang kumau. Acuhnya Semesta hanya sebuah bentuk keegoisan dalam pikiranku. Tanpa kutahu bahwa dia juga lelah menjadi seseorang yang bukan dirinya.

Tidak peduli seberapa besar cinta kami berdua, kami tetap akan saling menyakiti bila terus bersama. Kenyataan ini, bahwa selama ini aku menyakiti Semesta, lebih menyakiti hatiku. Irvin benar, selama ini aku tidak pernah memercayai Semesta. Aku terus menuntutnya mencintai dengan caraku, abai akan semua usahanya.

Hingga kemarin, ketika dia mengatakan bahwa kami bukan pasangan yang cocok. Kalimat itu adalah bentuk rasa lelah Semesta. Seperti halnya diriku, kami sama-sama mencapai puncak emosi. Setelah ini tidak ada puncak lain untuk direngkuh, juga jalan turun untuk kembali karena badai telah melongsorkan semuanya. Satu-satunya pilihan adalah terjun bebas.

Kali ini biar aku yang terjun. Aku tidak ingin semakin lama menyakiti Semesta. Sebelum aku makin membenci diriku sendiri, aku akan ambil satu langkah menuju jurang di tepian puncak itu.

Hujan sore ini mengingatkanku pada pertemuanku dengan Semesta. Hujan yang membuat Semesta bertahan lebih lama di gedung kantorku dulu. Andaikan hari itu tidak hujan, pertemuan kami pasti singkat. Aku dan Semesta mungkin hanya akan jadi dua orang yang hidupnya saling bersentuhan kemudian menghilang, tidak lebih.

Alam sepertinya tahu, dan sengaja menghadirkan hujan untuk kami sore ini. Kami duduk berhadapan di meja luar kafe. Sedikit air hujan berhasil merembes masuk dari samping, tetapi tidak satu pun dari kami beranjak. Keheningan dan ketegangan bergantung di udara. Untuk beberapa waktu keheningan itu lebih nyaring menyuarakan hal-hal yang tidak bisa kami ucapkan.

"Aku ...." Baru satu kata dan suaraku sudah bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diriku. "Aku sudah enggak bisa, Bo."

Kebo. Betapa aku menyukai panggilan itu. Hatiku belum rela melepaskan namanya.

"Apa mau kamu sekarang?" Tidak ada lagi kemarahan dalam suara Semesta. Hanya kepasrahan dan sedikit kesedihan. "Aku akan ikut, apa pun mau kamu."

Semesta selalu begitu. Ia tidak pernah mengambil keputusan dalam hubungan kami, menyerahkan semuanya kepadaku. Berlindung pada kehendakku, seakan bila Semesta mengikuti semua mauku, aku bisa bahagia. Sikapnya makin membulatkan tekadku. Aku tidak akan mengutarakan lagi keinginanku, itu hanya akan menyiksanya lebih lama lagi.

Tatapanku jatuh pada pergelangan tangannya. Di samping jam tangan, gelang Rama masih melingkar di sana. Sementara pergelangan tanganku sudah kosong, Dewi Shinta kutinggalkan di rumah.

"Kita akhiri sampai di sini saja."

Semesta tidak bereaksi. Lama, ia hanya melempar pandangannya ke tempat lain. Tidak ada bantahan, tidak ada pertanyaan apakah aku yakin dengan keputusanku atau tidak darinya, juga tidak ada usahanya untuk mempertahankanku.

Ketika akhirnya tatapan itu kembali, detik itu aku mulai merasakan jarak antara kursiku dan kursinya menjauh. Seolah ada jarak tak kasat mata mulai memisahkan kami.

"Kalau itu mau kamu, baik. Aku akan turuti asalkan kamu bahagia."

Kebahagiaanku adalah bersama kamu, Semesta. Mencintai kamu dalam kesederhanaan di mana kita tidak perlu mengucapkan perpisahan.

Aku mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas dan meletakkannya di tengah meja. "Kamu bisa baca ini di rumah."

Andaikan Semesta tahu, keputusan kami sore itu tidak pernah menuntun kami berdua pada jalan kebahagiaan. Andaikan sore itu tidak ada jarak kasat mata, aku ingin memeluknya sekali lagi saja. Aku ingin membawa pelukan terakhir itu ke dalam kenanganku.

Tidak. Kami berdua hanya bergeming di tempat masing-masing. Terlalu angkuh untuk saling memeluk dan mengucapkan selamat tinggal. 

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now