14. Senyum Palsu

260 49 2
                                    


Adara

Jarum jam panjang sudah melewati banyak angka dalam detaknya yang pasti, tetapi aku masih mematung melihat lampu-lampu temaram di atap kafe Rolag Kopi. Suara gerimis kembali menyentuh jalan beraspal dan Sungai Wonokromo di depan halaman, ikut menjadi irama statis bersama suara percakapan para pengunjung lain.

Aku melempar pandang kepada Semesta, berharap dia memberikan penjelasan lagi. Namun, wajahnya malah berpaling. Ia mengambil satu batang rokok baru dan mulai menyalakannya.

Asap tembakau mengepul di udara. Seperti biasa Semesta membuang asap rokoknya ke tempat lain, tetapi angin dari luar malah meniupkannya tepat ke wajahku.

"Jadi kamu cemburu?" tembakku tidak sabar.

Semesta tergelak, tidak lupa dengan gelengan pelannya. "Cemburu?" Tawa Semesta kelihatan palsu. "Kamu kelihatan senang, ngapain aku harus cemburu?"

Rambut gondongnya diikat ke atas. Kawanan nyamuk kompak membuat markas di atas kepalanya. Lain kali aku harus tanya kepadanya berapa kali dia keramas dalam seminggu.

"Ya ampun." Ganti aku berusaha melemparkan tawa palsu supaya kelihatan kuat di depan Semesta. Namun, sepertinya gagal. Aku yakin tidak akan bisa menyembunyikan kepanikan di wajahku. "Dia cuma teman, Kebo!" Nada putus asaku barusan mengonfirmasinya.

"Percaya, tapi cara kamu lihat dia sama aku beda," tuduh Semesta.

Seperti hal-hal fana lainnya, akan tiba saatnya sampai pada titik akhir. Seperti sekarang, kesempurnaan Semesta di mataku menemui masa penghabisannya, membuat satu celah retak pertama dalam hubungan kami.

***

Mengawinkan konsep Semesta dengan buku sepertinya mustahil. Lelaki yang lebih suka seharian menatap laptop itu mana mungkin suka diajak ke toko buku. Namun, ketika dia setuju mengantarku dan malah berakhir dengan keranjang belanja lebih penuh, dengan buku-buku tentang programming tentunya, rasanya anggapan itu berhasil dipatahkan.

Bacaan kami berdua bagaikan bumi dan langit. Kalau aku lebih suka menyusuri rak demi rak bagian fiksi, Semesta asyik sendiri di bagian IT. Ketika ia menenggelamkan wajahnya dengan sebuah buku di tangan, aura garang dan serius darinya langsung menguap.

Langkahku batal menuju kasir ketika menangkap satu kerumunan di pojok toko buku.

"Sedang ada book signing sama Bisma Permana, Mbak." Seorang penjaga toko menjelaskan kepadaku tanpa diminta.

Aku merasa mataku melebar mendengar nama itu disebut. Buru-buru kulempar tas belanjaku pada Semesta dan berjalan menghampiri kerumunan itu. Butuh usaha untuk menyibak orang-orang sampai ke barisan depan. Ketika akhirnya aku bisa melihat sosoknya, senyumku makin mengembang.

"Mas Bisma!" panggilku keras tidak memedulian tatapan mencela dari orang-orang di sebelahku.

Bisma ikut tersenyum lebar melihatku. Seketika ia bangkit dari tempatnya dan berbisik ke beberapa panitia di belakang sebelum menyuruhku mengikutinya ke salah satu sudut sepi.

"Bisma akan istirahat sebentar. Mohon pengertiannya, acara akan kami tunda sebentar." Salah seorang mengumumkan absennya Bisma, disambut sorakan kecewa para pembacanya yang sudah siap menanti giliran dengan buku di tangan.

"Adara!" seru Bisma berapi-api.

"Mas Bisma masih ingat aku ternyata," ucapku seraya mengulurkan tangan. Bisma menyambutnya, jabatan tangannya masih seerat seperti dalam ingatanku. Ada ketegasan dalam caranya menyambut jemariku, kontras dengan senyum ramahnya.

"Mana mungkin aku bisa melupakan kamu."

Di saat bersamaan aku merasa sesuatu mendekatiku dari belakang. Semesta berdiri di dekatku dengan dua tas belanja penuh buku di tangannya. Aku sama sekali lupa akan kehadirannya. Bertemu teman lama setelah sekian lama membuatku terlalu antusias. Apalagi kalau teman lama yang kutemui sudah sukses jadi penulis terkenal.

Semesta Adara (TAMAT)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora