38. Batas Ketabahan

228 47 0
                                    

Semesta

Ratusan relawan di Argopuro terpaksa harus megalahkan ego dan takluk dengan kekuatan alam. Aku sudah berusaha menunggu selama mungkin, tetapi badai enggak kunjung reda. Jarak pandang makin tipis. Selain itu, perintah penarikan SRU sudah digaungkan semenjak tengah hari.

Enggak ada satu kata pun keluar dari bibir Banda. Sebagai keluarga Adara dia berhak menolak, bersikeras tinggal di atas buat melanjutkan pencarian. Namun, dia bergeming. Di luar dugaan, enggak ada perlawanan darinya. Dia menurut saja ketika teman-temannya menggiringnya turun. Diam dan sesekali mengangguk ketika Mas Ical dan Pak Sutoyo menepuk pundaknya, meminta maaf kepadanya, dan berjanji akan membantu sebisa mereka kalau pencarian mau dilanjutkan kembali.

Aku malu sama Banda. Egoku jadi terluka karena enggak ada yang bisa kulakukan lagi. Mengaku kalah setelah kepalang janji sama Banda itu enggak mudah. Entah Banda memang telah menyerah dan pasrah, atau wajah keras dan dinginnya itu sebatas topeng untuk menyembunyikan kesedihannya.

"OSC ke semua ketua SRU." Suara Mas Ical menyela keheningan lewat HT di tanganku. "Setelah sholat isya berkumpul di polsek untuk rapat hasil Open SAR."

Aku buru-buru menoleh pada Banda. Seperti sebelumnya, wajah itu masih tetap keras. Langkahnya juga masih tetap hati-hati menuruni bukit mendekati ladang-ladang warga Desa Bermi. Kami berdua tahu apa arti pertemuan selepas isya. Hanya tinggal waktu sampai Pak Sutoyo selaku SMC mengumumkan operasi SAR ditutup.

Di gapura pintu masuk pendakian Desa Bermi, puluhan orang sudah menunggu. Wartawan dari berbagai media berbaur dengan masyarakat sekitar. Mereka sudah terlebih dahulu memberondong Pak Sutoyo yang berjalan paling depan. Enggak puas dengan lelaki itu, salah seorang wartawan mengenali Banda sebagai adik Adara, dan mereka ganti menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.

"Mas ini adiknya Mbak Adara, kan?"

"Bagaimana kondisi pencarian di atas, Mas?"

"Kenapa semua orang turun? Apakah Adara sudah ditemukan?"

"Bagaimana pendapat Mas soal operasi SAR ini?"

"Kenapa kita enggak melihat Adara ikut turun?"

"Apakah Adara sudah meninggal?"

"Tolong berikan klarifikasi sebagai anggota keluarga!"

Pada saat itu aku melihat Banda ada di batas ketabahannya. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, rahangnya mengeras, begitu pula otot di sekitar pelipisnya. Namun, tetap enggak ada kata keluar dari mulutnya.

Aku mengedik pada Aji. Lalu, mendorong punggung Banda melewati gelombang manusia yang menyerangnya. Badannya terasa keras, seolah ia mati-matian mengungkung segala emosi, memerangkap seluruh perasaannya.

"Saya ketua Ekspedisi Atap Tanah Jawa. Kami akan memberikan klarifikasi begitu rapat evaluasi selesai." Aku mendengar Aji mengambil alih di belakang.

Aku membawanya ke jalan memutar paling jauh lewat perkebunan kopi warga untuk menghindari semua orang. Hanya ketika tinggal kami berdua, Banda menyentakkan tanganku di punggungnya. Ia berbalik menatapku. Napasnya naik turun, lalu tatapannya terpaku pada rumput gajah di bawah kakinya.

"Jangan dengarkan kata mereka." Suaraku pelan. Bau bunga kopi menguar wangi di udara.

"Apa Mbak Adara sudah meninggal?"

Aku bahkan enggak berani menyebut kata itu, seakan menyuarakannya ikut membuat kenyataan makin mendekat, dan aku enggak siap. Namun, Banda punya nyali untuk mengakuinya.

"Jangan bicara macam-macam!" bentakku.

Kerikil di samping kakinya ditendang keras, tanah lembap ikut melayang ke udara. "Kamu dan aku sama-sama tahu hitungannya. Berapa persen mortalitas survivor setelah tujuh hari hilang? Berapa lama Mbak bisa bertahan di luar sana dengan cuaca seperti itu?"

Kuraih kedua sisi bahunya, dan kupaksa kedua matanya menatapku. Adara benar waktu bilang Banda remaja paling susah ditebak. Nyatanya, di kedua mata itu sekarang aku enggak bisa menebak apa isi hati dan pikirannya.

"Lalu kamu mau menyerah? Kalau semua orang bilang Adara sudah enggak punya kesempatan, kamu juga mau pasrah sama keluarga kamu sendiri?"

Banda lagi-lagi mengibaskan tanganku kasar. "Kamu janji bawa Mbak pulang, Mas." Suaranya mendesis, di telingaku ia terdengar mengancam. "Kalau Mbak dulu enggak pernah kenal kamu, dia enggak akan pernah suka mendaki! Kalau kamu enggak putusin dia, Mbak Adara enggak bakal sering pergi mendaki sendiri!"

"Banda, kita akan balik ke atas sana. Kita akan cari Adara lagi."

"Apa kamu bisa balikin dia lagi?" tuntut Banda.

Aku terperanjat, enggak mampu memberinya jawaban. Enggak akan lagi kuberinya janji-janji kosong.

"Jawab!" bentak Banda. Bibirnya bergetar. Begitu pula dengan badannya. Baru kusadari, sejak tadi dia berjalan dengan baju setengah basah.

Aku enggak tahu jawaban atas pertanyaan Banda. Aku hanya tahu kalau aku menolak menyerah, bahwa aku akan kembali ke atas. Namun, lidahku kelu untuk mengatakannya.

"Kamu memang belum bawa Mbak Adara pulang sejak Penanggungan," tuduh Banda. Kakinya mengambil langkah mundur, dan ia berlari secepat kijang meninggalkanku.

Aku enggak mencegahnya sewaktu berlari kembali ke arah hutan damar. Siapa pun enggak akan bisa menenangkan hati yang baru saja kehilangan.

"Ta! Semesta!" di belakangku Aji berlari menyusul. Pandangannya mengikuti punggung Banda sampai menghilang di balik lebatnya pepohonan karet. "Mau ke mana anak itu?"

Udara kuhirup dari sela-sela gigi yang terkatup. Telapak tanganku mengusap wajah dengan kasar. "Biarkan."

"Jangan dengarkan kata Banda," hibur Aji seakan tahu apa yang barusan terjadi.

"Banda benar, Ji."

"Soal apa?"

"Aku sudah bawa Adara pergi sejak dulu, tapi enggak bawa dia balik lagi. Semua ini salahku."

"Ta, itu enggak benar."

Kutepis uluran tangan Aji yang hendak menepuk bahuku. "Itu kenyataannya."

Gerimis kembali datang. Suara rintik-rintiknya jatuh di atas permukaan daun-daun tanaman jagung di ladang sisi kami. Pikiranku kelewat sibuk untuk sekadar memikirkan berteduh. Melihat jas hujan disampirkan di tali tas daypack Aji, aku lagi-lagi teringat Banda.

Kuraih jas hujan itu cepat. "Pinjam. Banda enggak bawa apa-apa."

"Bawa dia balik ya, aku tungguin di rumahnya Cak Arip."

Gerimis berubah menjadi hujan. Hutan damar meredam laju derasnya dengan rimbun daunnya di pucuk pohon. Hujan tidak bisa menembus kedalamannya. Mataku mengitari pepohonan karet, bau getahnya menyeruak ke udara. Banda bisa ada di mana saja. Aku enggak sempat memperhatikan arah lari pemuda itu.

Petir menggelegar. Hujan berubah makin deras. Kakiku berjalan enggak tentu arah. Perlahan sebuah suara dibawa desir angin ke telingaku. Samar tetapi pasti, suara itu teredam sempurna di antara suara deru hujan dan petir sesekali menyambar.

Sebuah isakan.

Di gubuk bambu sederhana tengah hutan damar, Banda meringkuk dengan kedua kaki terlipat. Wajahnya dibenamkannya di sana, bahunya berguncang hebat.

Sendiri, aku melihatnya melepas segala batas ketabahan. Kami semua salah telah menilainya sebagai pemuda kuat. Enggak ada yang bisa membendung kesedian seseorang yang sudah kehilangan keluarga dekat. Banda hanya menahannya luar biasa sempurna, serta menyembunyikannya kepada orang-orang. Karena seorang lelaki dalam keluarga harus kuat, sekuat baja. Hanya ketika seorang diri, lepas dari segala pandangan mata, ia mampu melepaskan emosinya.

Cengkeramanku di jas hujan mengerat. Perlahan, aku berbalik. Dalam sunyi, aku meninggalkan Banda sendirian. 

Semesta Adara (TAMAT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant