29. Dekat Di Hati

216 45 0
                                    

Semesta

Kabar simpang siur dari puncak bikin denyut pencarian mandek lagi hari ini. SRU baru diberangkatkan lewat jam sembilan, tetapi berhenti setelah lewat tengah hari.

Dua orang relawan, entah pihak mana, terjatuh dari puncak. Deru komunikasi HT enggak berhenti setelahnya. Turun dari puncak menuju Kawah Sijeding memang cukup beresiko dalam cuaca begini. Terutama karena badai dan angin terus-terusan melanda area itu. Membuat jarak pandang terbatas dan kemungkunan turun ke lembah dengan alat pengaman pun sangat berbahaya.

Orang-orang Basarnas di SRU kami sibuk memastikan rekan mereka baik-baik saja, sambil menunggu perintah berikutnya. Aji enggak kalah sibuk. Ada lima orang relawan Temu Alam berada di atas. Sampai sekarang enggak ada yang tahu pasti keadaan mereka.

Cuaca gerimis sepanjang pagi. Ponco jas hujan sudah jadi seragam wajib tiap hari. Aku jadi ikut merasa bersalah sudah mendesak mereka turun tadi pagi. Padahal aku sendiri tahu bagaimana hitungannya, standar operasional dalam SAR, dan standar keamanannya. Menjadi bagian dari orang terdekat survivor, bikin aku lupa itu semua. Egoku malah menang.

"Gimana?" tanyaku kepada Aji.

"Dua orang dari Basarnas kepeleset waktu mau turun ke Sijeding dari Puncak Hyang. Bukan orang kita. Sudah mau evakuasi, satu orang patah kaki, satu lagi kena batu," bisiknya hati-hati.

Rasa bersalahku makin besar. Di rimba kerendahan diri harus dijunjung tinggi. Sikapku tadi pagi kelewat batas, enggak tahu diri, dan meremehkan. Padahal meremehkan alam adalah sebuah kejahatan.

"Ada perintah enggak, Cak?" tanya Aji kepada Cak Arip.

"Enggak ada."

"Lanjut saja atau gimana ini?"

Cak Arip menimbang sebentar. Sebagai ketua SRU, kami akan menuruti perintahnya. "Lanjut saja, lah. Orang-orang sudah mulai evakuasi. Paling sebentar lagi dibawa turun ke basecamp."

"Cak," bisikku lirih. "maaf soal tadi pagi."

Cak Arip mengeluarkan botol dari saku samping tasnya dan memberikannya kepadaku. "Minum dulu. Kepala harus dingin kalau mau masuk makin dalam ke hutan."

Aku bisa mengerti kenapa Aji dan Ical bersikeras menaruhku satu SRU bersama Cak Arip untuk menyisir sampai air terjun di atas Cemoro Limo. Area ini paling jauh dari puncak, area paling berbahaya dalam operasi ini. Mengenai kemampuan rapelling, teknik menuruni tebing atau tempat tinggi dengan tali karmentel, itu soal gampang. Namun, soal mengalahkan ego itu lain. Mungkin aku akan ceroboh melawan cuaca dan bersikeras turun apa pun keadannya.

***

Malam enggak pernah sesunyi ini di Cemoro Limo. Selepas jam operasi pencarian, baru hujan reda. Setelah matahari terbenam, baru langit hitam berani menyibak cerah. Pola ini berulang selama beberapa hari. Hanya ketika malam langit kembali cerah dan mengizinkan cahaya rembulan bersinar terang.

Udara terasa lembap, kabut merayap perlahan dari bawah bukit-bukit. Sesekali angin berembus dan menggerakkan dahan-dahan pohon cemara hutan. Langit makin pekat, udara makin dingin. Setiap embusan napas membuat udara putih keluar dari hidung.

Enggak ada suara binatang ketika rapalan mantra mulai dibacakan. Seorang lelaki tua dengan blangkon di kepala berkomat-kamit di hadapan sebuah api unggun. Bukan main susahnya menghidupkan api dengan ranting-ranting basah. Buat menghangatkan badan saja, kami rela berhimpitan dekat nesting jerangan air. Tenaga sudah habis buat sisir hutan, menghidupkan api unggun lagi jadi hal paling dihindari semua orang. Namun, demi sarkun, semua rela bahu membahu menyalakan api untuknya.

Bau kemenyan bercampur asap tembakau menguar di udara. Sudah satu jam lebih sang sarkun duduk dalam posisi sama, sesekali menggumam enggak jelas. Selama itu pula dia jadi tontonan semua relawan dan petugas di Cemoro Limo.

Semesta Adara (TAMAT)Where stories live. Discover now