"Tumben banget baru dateng jam segini. Mampir ke mana dulu?" tanya Arin sembari mengeluarkan buku mapel pertama karena sudah bel.

"Biasalah."

"Nggak sekalian aja nih lo minta ke pihak kesiswaan biar lo sama Gentar satu kelas?" sarkas Arin. Bukannya marah, Azkira justru tertawa renyah.

"Emang lo ikhlas gue sekelas sama Gentar? Lo kan nempel mulu ke gue," kata Azkira mengejek.

"Ya—ya gue ikut lo lah!"

Azkira menoleh dan menatap sahabatnya itu dengan senyum jahil. "Lo emang mau ikut gue atau ...." Ia sengaja menggantungkan ucapannya.

"Fiki?" tebak Arin paham dengan senyum yang Azkira perlihatkan. "No! Ngapain juga gue pindah kelas buat dia?"

"Ya siapa tau karena kalian berdua sering ribut terus tumbuh benih-benih cinta?" ujar Azkira sengaja menekan tiga kata terakhir di dekat telinga Arin. "Inget ya Rin cinta hadir karena terbiasa."

Arin terkekeh sumbang. "Cinta hadir karena terbiasa? Terbiasa atau dipaksa oleh keadaan. Em, atau karena terbebani oleh ucapan orang?"

"Ucapan orang?"

"Ya, bisa aja kan menjalin hubungan karena terlalu sering dengerin apa kata orang. Misal, lo deket sama Gentar tapi lo berdua nggak ada status. Terus orang-orang gosipin kalian berdua. Kemana-mana bareng tapi kok nggak jadian-jadian? Nah, setelah itu lo sama Gentar memutuskan buat jalin hubungan dengan status yang jelas. Kalian jadian," ujar Arin memaparkan.

Ucapan Arin membuat Azkira mengingat satu hal. Dirinya dan Gentar belum memiliki ikatan apapun. Hanya komitmen untuk terus bersama hingga hari H pertunangan dan hari-hari setelah acara itu.

Azkira tersenyum tipis. Ia sudah membuat keputusan untuk tidak memaksakan kehendaknya pada Gentar.

Mau bagaimana pun Gentar masih butuh waktu untuk memiliki hubungan dengan lawan jenis lagi usai perpisahannya dengan sang mantan.

"Gue salah ngomong, Ra?" tanya Arin karena tidak ada balasan sama sekali dari Azkira.

"Lo bener. Tapi nggak semuanya, cuma beberapa. Thanks," balas Azkira menepuk bahu Arin pelan.

"Thanks, for what?"

"Kata-kata lo. Gue jadi kepikiran tentang hubungan gue sama Gentar. Kami bareng-bareng terus tapi nggak jadian sampe sekarang."

"Bukan enggak, cuma belum."

Azkira tersenyum getir dan mengendikkan bahunya. "Memang enggak, Rin. Mungkin gue sama dia cuma bisa ngejalanin hubungan tanpa status kaya gini terus?"

"Kenapa gitu?" Arin bingung. "Lo sama dia bakal tunangan dan lo tau kan kalo tunangan itu bukan hal main-main?"

"Gue sama dia kan masih lumayan lama tunangannya. Sekarang ya gini-gini aja, ke sana ke sini bareng tapi nggak ada status," ujar Azkira seraya mencoret-coret lembaran bukunya yang masih kosong.

Arin yang paham pun langsung merangkul bahu sahabatnya itu. "Kalo emang jodoh pasti lo bakal terus sama dia. Seandainya emang dia bukan jodoh lo ya lepasin aja. Cowok masih banyak kok di dunia ini," katanya.

"Tapi cowok sebaik Gentar belum tentu ada duplikatnya di dunia ini."

"Mungkin yang sebaik Gentar belum ada, tapi yang jauh lebih baik daripada dia pasti ada, Ra. Jadi orang nggak boleh pesimis. Jodoh, rezeki, maut udah ada yang atur."

Obrolan mereka terhenti sampai di situ karena Pak Koko sudah masuk kelas dan memulai pembelajaran di jam pertama.

•••

GENTAR [END]Where stories live. Discover now