Aku Yatim dihatam Takdir

4 1 0
                                    

Tengah malam aku terjaga dari tidurku. Gelap gulita sekeliling. Tidak ada sehelaipun daun digoyang-goyangkan angin. Udara dingin mulai menyesakkan dada, segala sesuatu sekalian alam memberi tanda, bahwa hari akan berubah. Sebenarnya aku tidak benar-benar bangun, ibu yang menyengajai kami, hendak berlari.

Sekonyong-konyong suara guruh menyeruak oleh longsoran yang tidak disangka datangnya. Gemuruh yang datang sekali lagi terdengar hebat, lebih keras dari sebelumnya. Dan belum senyap guruh yang kedua itu, yang ketiga sudah menyusul. Maka bertiuplah angin dan hujan ribut sebegitu derasnya, sehingga menusuki tulang-tulang penghuni seisi rumah, membuat gemetar seluruh badan.

Warga kampung mulai berhamburan panik, satu-persatu rumah diberitahu, hendak di peringatkan agar segera mengungsi. Longsoran begitu hebat, bisa mengubur seluruh isi kampung. Tanpa berpikir panjang ibu membopong tubuhku keluar, aku sama sekali tidak mengerti hendak di apakan. Yang jelas semua begitu panik. Aku dititipkan kepada Wak Nenong, wak sudah siap sedia kala dengan membawa perbekalan, segera meraih tangan mungilku secara paksa.

"Ayok!"

"Aku tidak mau pergi, aku kepengen bareng ibu?" jawabku sambil merengek.

"Ibumu meminta kita untuk pergi deluan, Ayok"

Tanpa berpikir lagi, aku langsung menuruti perkataan Wak Nenong.

Hujan itu masih berderai, seketika berhenti. Teduh pulalah udara, tapi hanya sekejap. Datang pulalah kilatan petir, seakan malam menjadi terang layaknya di siang hari. Kilatan itu hampir-hampir membuat terbang "arwahku" sangking kencangnya yang ia perbuat. Hampir pula aku terjatuh, memegangi tangan wak keras-keras, seolah-olah mencari perlindungan. Maka datang kembali angin berhembus menggerakkan daun-daun dan mengerakkan seluruhnya ke udara, sampai berhamburan. Sekali lagi turun kilat, kembali menerangi hamparan sawah yang mulai rampak, kami semua berlarian melalui semak-semak dan padi itu, mencari jalan memintas, jalan biasa sulit kami lalui karena licin diperbuat hujan semalaman, kami berlarian dalam belukar, melarikan diri dari timbunan longsor.

"Lekas, lekas ke kampung sebelah!" demikian wak berseru kepada sekalian orang.

Aku mencoba untuk berkata-kata, tapi ketika menjerit sekeras-kerasnya, sepatahpun tidak terdengar. Orang sekampung mengalami hal yang sama, kami geger dan hanya peduli dengan keselamatan sendiri. Tidak lebih dari itu. Guruh semakin kerasnya, longsoran sepertinya meluluh lantahkan seluruh pemukiman tak tersisa. Aku hanya bisa menangis, takut-takut ibu terkubur bersama yang lain. Wak terjatuh, padahal dalam kondisi hamil muda. Aku mencoba membangunkan wak, meski tangan ini sama sekali tidak bertenaga.

Kami tiba di perkampungan sebelah, suasana mencekam seperti dihantam rudal di medan perang di Afganistan. Yang sering aku lihat di acara berita di televisi. Kami terurai, tercerai-berai. Sang ibu tidak mengetahui buah hatinya dimana, dan sang anak tak tahu harus kemana.

Dan ternyata demikian halnya, seperti yang kuprediksi. sebelumnya, aku dinyatakan yatim. Ibuku tidak tertolong dan tertimbun dalam kejadian yang teramat hebat itu. Ketika wak terjatuh sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh yang teramat hebat, melebihi suara lain. Sangkaku waktu itu kiamat sudah dekat.

"Mulai sekarang, wak yang jadi wali asuhmu, ayahmu entah di mana adanya? Jangan memanjakan diri, ada tidaknya ibumu, kamu harus tetap semangat." Jelasnya, air matanya berlinang. Wak akhirnya memutuskan untuk membawaku ke kota Medan dan memutuskan untuk menyekolahkanku.

Di sekolah, aku menjadi sosok yang berbeda. Aku hanyalah seorang bocah kampung dan dibesarkan di lingkungan hidup di Jawa. Tak tahu menahu adat-istiadat di tempat baru. Aku kesulitan beradaptasi sehingga sering dibuli, tapi. aku tak mau kalah, aku balas mereka sampai aku sering berurusan dengan anak lain. Sebenarnya tak sampai hati membuat wak Nenong tersakiti hatinya, akibat ulah yang kuperbuat. Berkali-kali harus berurusan dengan guru konseling.

Meskipun aku tahu wak begitu menyayangiku layaknya putra yang dia kandung sendiri. Namun, kali ini sepertinya kemarahan wak sudah mencapai titik puncaknya, yang jika diibaratkan gunung, lahar yang di pendam selama ini akan segera dileldakan, dimuntahkan seluruh isinya ke permukaan. Awan yang dihembuskan saja sudah membuat panas sekalian badan, belum lagi jika diterpa hujan. Habis sudah, terkena lahar panas yang bisa menusuk ke ujung hati. Wak bersifat dingin. Padahal, Aku lebih sudi untuk dipukuli ratusan kali daripada diperbuat semacam itu.

Sikap yang ditunjukkan wak menimbulkan suatu pikiran di benakku, kali ini aku merasa dan sadar akan diriku yang seorang anak yatim. Tidak ada yang menyayangiku seorangpun. Aku sendirian. Selagi berpikir seperti itu, keluarlah aku dari rumah itu, meninggalkan keseluruhan orang yang selama ini merawatku. Terdengarlah teriakan wak memanggilku. Maka keluarlah air mata, aku memutuskan untuk melarikan diri.

Memang terasa menyesakkan dada. Harus meninggalkan wak seorang diri, meninggalkan senyumannya, nasihatnya. Namun, bukan kehendakku sendiri untuk berbuat seperti itu. Keadaan seolah-olah memaksaku, aku bukan seorang yang diharapkan hadir, sehingga aku harus sabar membawa nasib dan menerima segala takdir. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 11, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secarik Kertas PenyemangatWhere stories live. Discover now