Kertas Lusuh Itu Mengingatkan Aku Akan Masa Lalu

12 1 0
                                    


Malam senyap, terdengar hening tak bersuara, kecuali bunyi yang dihasilkan oleh semilir angin barat yang saat ini mulai berhembus kencang, menyelisik kesela-sela daun, mengibas-ngibas seng yang tak henti-hentinya tergoda oleh angin itu. Mengepak-ngepak seperti sayap, hendak terlepas dari atap, tak ingin melindungi kembali penghuni rumah. Angin itu kembali mengibas-ibas tirai merah penutup jendela, warnanya agak kusam, terkesan kumal, ingin segera diganti. Terkesan nakal, sesekali tirai itu menggelembung seperti sebuah parasit, mengendor kembali, mengambil aba-aba.

"Tanpa Gelap, kamu tidak akan pernah melihat bintang-bintang." Kata-kata penyemangat itu sungguh luar biasa bagiku, entah siapa yang mencetuskanya pertama kali, rangkaian katanya sedikit, namun bijak. Sepenggal kalimat itu tertera pada sepotong kertas lusuh yang terapit di antara halaman buku Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Aku lantas mengambilnya, Mengingat-ingat kembali potongan kertas itu. Barangkali ada kejadian penting yang menyertainya.

Aku mencoba membolak-balik kertas itu. Hanya kertas biasa, tidak jauh berbeda dengan kertas-kertas lain. Memang sedikit perbedaannya, kertas itu lusuh dan kumal. Barangkali seseorang sudah berkali-kali melipatnya dan pernah memasukkannya kedalam saku. Entahlah, yang jelas kalimat dari kertas itulah yang membuatnya menarik.

Akan aku ceritakan dari awal. Namaku Arunika, lahir di Kampar. Seorang yang lahir dari keluarga kekurangan dari sisi finansial, tapi tidak untuk sisi lain, aku selalu merasa cukup. Mendapatkan pengalaman buruk di masa kecil dan terus menerus menerima cobaan tiada henti, membuatku terbiasa untuk berjuang. Jika di ibaratkan, rintangan hidup yang aku jalani seperti derasnya air di musim hujan. Gerombolannya mengganas, butiran air hujan berjatuhan seperti hendak menyerang. Terus saja ditimpakan kemalangan. Ketika menjelang dewasapun, rintangan itu masih terus menerpa. Tapi, dari semua hal kelam yang telah aku lewati, aku merasa beruntung dan bersyukur, seperti sepenggal kalimat yang aku temukan tadi.

Di daerahku masih jarang ditemui orang tua memberikan anaknya pendidikan sampai ke jenjang tinggi, apalagi untuk perempuan. Pendidikan hanya terbatas pada mereka yang secara ekonomi mapan atau yang memiliki keterbatasan finansial, tetapi tetap berusaha untuk menyekolahkan putra-putrinya. Tak mudah untuk mendapatkan Pendidikan layak. Dulu, ketika memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan kesekolah menengah pertama, aku ingat betul ibu sampai harus menangis meminta ke kepala sekolah untuk meringankan beban dalam membiayai sekolah, sempat putus asa ketika itu, ingin keluar saja, apa daya tak sampai hati melihat perjuangan ibu yang tetap menginginkan anaknya mendapat pendidikan.

"Aku gak mau sekolah lagi mak, sudah cukup membuat mamak susah, bekerja setiap hari hanya untuk membelikanku seragam sekolah. Dah sesak dadaku ini mak, temanku tak henti-hentinya menggangguku, berteriak keras-keras ke telinga, sampai berdengung. Aku semakin membebani mamak. Lebih baik aku usaha di ladang saja, lebih memudahkan mamak, kan baik ada penghasilan," ujarku

"Tetap sekolah nak, masa depanmu harus cerah, cukup mamak yang bermandikan keringat setiap hari, terpanggang oleh teriknya sinar matahari. Kamu jangan nak, jangan berpikir pendek. Biar mamak datangi kepala sekolahmu, biar bisa dikurangi harganya." Jawab ibu dan ternyata keesokan harinya ibu mendatangi kepala sekolah Sekolah Menengah Pertama hendak diringankan beban biaya sekolahku, terutama seragam sekolah. Ibu tidak mau anaknya di sakiti dengan kata-kata kotor. Aku paham betul beliau waktu itu tidak memiliki uang sama sekali, sampai berani berkata demikian ke kepala sekolah.

Memang, sejak Sekolah Menengah Pertama aku terbiasa bekerja keras, berjualan keliling dari rumah-kerumah, mencari barang bekas ke selokan-selokan, dan biasanya memunguti bekas minuman ke dalam tas sekolah, pernah suatu ketika salah satu teman yang jail membukakan tasku yang penuh rongsokan itu, tak ayal membuat aku sedih dan teringat sampai sekarang, dipermalukan di depan teman-teman sekelas.

"Coba tengok teman-teman, Arunika bawa sampah ke dalam kelas, dia berniat menjadi pemulung, bukan jadi orang terpelajar keyek kita." Ejek salah satu temanku, memang itu benar-benar menyebalkan sih, tapi yasudah.

Aku sering dijadikan bahan perolokan, bahkan tak jarang menjadi objek bulian teman sekelas. Akibat dari strata sosial yang rendah, tubuhku yang kerdil, dan barangkali aku seperti seorang Huckleberry Fin dalam petualangan Tom Sawyer karangan Mark Twain, dalam petualangan pantasinya. Sosok yang di katakana "anak sampah" itu seperti yang ku alami saat ini. Tapi ini di kehidupan nyata yang tidak dimungkinkan ketika di hadapkan masalah akan dapat di selesaikan begitu saja.

Kadang sepulang sekolah, aku harus mencari rumput untuk pakan kambing tetangga, sesekali membantu tetangga memanen padi, sehingga aku jarang sekolah di waktu itu. tanganku sampai tidak dapat di gerakkan untuk menulis, akibat yang dihasilkan luka bekas sayatan daun padi. Sebegitu mengerikan kehidupan yang di jalani. Apa yang mendasari itu semua? Kenapa masa kecil yang aku alami begitu pahit?.

Secarik Kertas PenyemangatWhere stories live. Discover now