Ketika Kita Terlahir Miskin

4 0 0
                                    

Aku dipaksa untuk ikut dengan mobil ayah, sudah setahun lebih ayah tidak menampakkan diri di hadapanku. Kesehariannya diisi dengan kegiatan yang tidak berfaedah, sehingga menelantarkan kami sekeluarga di rumah. 

kejadian bertemu dengan ayah sekilas menjadikan aku terbayang-bayang lagi akan kehidupan aku di waktu berusia enam tahun, tatkala aku masih bersama ibu kandungku. Awal semula ayah menjadi semengerikan ini.

Mimpiku ketika masa kecil adalah menjadi seorang bajak laut hebat. Padahal aku seorang perempuan. Kehidupan yang bebas tanpa aturan yang mengikat adalah kehidupan yang menarik, pikirku. Selama ini aku terpenjara dalam sepi apalagi menjalani kehidupan layaknya tanaman kaktus tumbuh di padang pasir tandus, menyedihkan.

Bukan kenginanku terlahir sebagai kaum papa, termarginalkan di negeri yang "Katanya" kaya raya ini, sama sekali bukan. Kita dilahirkan tanpa membawa sehelai benang pun, faktanya kehidupan seorang bayi dengan bayi lainnya akan berbeda di masa depan, entah jadi apa dan berperan sebagai siapa? Yang jelas tidak ada yang bisa memilih, termasuk aku.

"Arunika," teriak seorang wanita

"Arunika, cepat bangun nak." wanita paruh baya itu mendesak agar aku terbangun seraya menggoyang-goyangi tubuh dan menepuk-nepuki pipi. Akibat tidak kunjung bangun, bergegaslah wanita itu menggendongku dengan kedua tangannya, seperti tergesa-gesa. Aku yang masih mengantuk mencoba mengucek kedua mataku dan sesekali menguap.

"Brak." tiba-tiba muncul seseorang dari balik pintu, menendang pintu itu dengan keras membuat seisi rumah terperanjat kaget. Seorang pria bringas, bertubuh gempal, berambut ikal dan berkulit kriput baru saja pulang.

Pria itu berteriak keras kepada wanita yang menggendongku ini agar menyerahkanku. Namun, wanita ini tak bergeming sedikitpun. Akhirnya tetap saja, aku diangkut paksa dan dibawa lari oleh si pria keparat itu.

Aku merasa tidak berdaya sedikitpun, hanya bisa memukul-mukuli dengan kedua tanganku yang mungil ini meski hanya sebuah kesia-siaan belaka, tubuhku yang kering kerontang ibarat seonggok tulang berbalut daging tak mungkin bisa melawan seorang preman pasar yang membawaku ini, yang adalah ayahku sendiri. Usiaku baru enam tahun kala itu, masih telalu kecil untuk menerima semua perkara ini.

Wanita yang tadi menggendongku mengejar kami sambil menangis histeris, sesekali memegang tangan ayah dan memohon untuk segera melepaskanku, yang adalah putra semata wayangnya.

"Jangan bang, jangan!" lirih wanita itu memelas. Matanya sembab, wajahnya pucat, dipenuhi bekas goresan luka, sepertinya telah terjadi perkelahian semalam. Aku kurang begitu tahu barang urusan dewasa. Namun, belakangan sering terjadi keributan di antara kedua orang dewasa ini, masih terlalu kecil untuk memahami kejadiannya kala itu. Yang jelas perasaan tak nyaman sering menyelimutiku setiap hari. Ayah sering memecahkan gelas, membanting panci ke dinding triplek rumah kami, memukuliku jika aku rewel dan sering memarahi ibu.

Banyak warga yang menonton aksi kami dengan asyiknya, seperti menyaksikan pertunjukan drama. Karena malu, akhirnya ayah melepaskanku, melemparkan badan kerempengku ini ke dasar sungai. Beruntung, sungai itu tidak benar-benar dalam, aku bisa terselamatkan. Pria itu sedikitpun tak berperasaan, bisa-bisanya berbuat semacam itu kepada anak perempuan tak berdosa.

Ibu segera menolongku, membawaku ketepian, mengusap-usap rambutku dan menangis sejadi-jadinya. Kala itu, tidak ada satupun orang yang memperdulikan nasib kami, lara rasanya.

Ibu dikenal sebagai seorang wanita tak baik, bekas seorang wanita jalanan. Begitupun ayah yang seorang preman pasar. Aku sering dihardik, sebutan anak haram miskin akrab menjadi sapaan setiap hari, melekat. Sampai-sampai dipersekusi.

Pernikahan antara kedua orang tuakupun tidak direstui. Orang tuaku menikah dari suku dan agama yang berbeda, sehingga mereka seperti manusia yang sengaja dibuang dari kumpulan keluarganya. Ibuku adalah seorang sunda dan ayahku batak.

Perjalanan hidup yang awalnya indah berubah seketika, ketika ayah menyesali perbuatannya menikahi ibu. Kehidupan menjadi sangat susah. Ayah menjadi sosok berbeda dan angkuh, sering berjudi dan minum arak setiap hari.

Akupun menjadi seorang pribadi pendiam. Tidak memiliki teman, yang kupunyai hanyalah ibu. Terserah perkataan orang mengenai ibu, yang jelas aku begitu menyayanginya. Ibu sering diperolok orang sekampung sebagai berandalan yang membuat malu warga kampung, pembawa malapetaka. Padahal di mataku beliau adalah seorang penyayang dan sosok wanita kuat.

Pernah suatu ketika kami tidak memiliki apapun untuk dimakan, yang ada hanyalah segelas beras untuk dimasak. Akibat tidak ada makanan lain yang bisa ibu hidangkan, beliau mengajakku ke sawah untuk menangkapi keong dan katak. Ya katak, ibu menghidangkan paha katak di piring yang biasa kami gunakan berdua untuk makan. Kata ibu aku tidak boleh kekurangan protein, aku bisa bertubuh kerdil dan kekurangan akan gizi, otakku juga bisa bodoh sehingga aku harus makan paha katak itu.

Ibu menyantapnya sambil menangis, aku tidak paham ketika itu dan baru memahaminya tatkala sudah berumur dewasa. Aku tahu perasaannya yang hanya bisa menyajikan makanan seaneh itu bahkan bisa di bilang jijik kepada buah hatinya. Ibu hanya makan sebanyak dua suap dan dia berkata "ibu sudah kenyang, jangan sampai tidak dihabiskan makanan ini. Dia bisa menuntutmu sambil menangis."

Secarik Kertas PenyemangatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang