dua puluh empat

15.7K 3.4K 721
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

Dan lagi-lagi Arman mencari gara-gara.

Setelah berhari-hari selalu pulang malam, bahkan akhir pekan pun Arman masih membenamkan diri di ruang kerja, sibuk di depan lappy atau teleconference entah dengan siapa, tiba-tiba Senin ini dia muncul tepat waktu di rumah. Padahal besok sore aku sudah harus berangkat ke Bali.

Aku pasti akan memberi tahu dia, karena tidak mungkin aku pergi begitu saja. Tetapi melihat wajah kusut suamiku, aku menundanya. Dan memilih menenggelamkan diri di kamar untuk bekerja. Renza dan Renzi sudah menyelesaikan urusan packing untuk kami semua.

Setelah makan malam yang sama sekali tidak akrab, kami menenggelamkan diri dalam aktivitas masing-masing. Dan sambil bekerja, kubiarkan kedua putriku bermain-main di kamarku. Mereka goleran di karpet sambil bermain dengan buku-buku aktivitas.

Di pagi hari, suasana kembali kaku. Karena kami akan berangkat malam, hari ini anak-anak pun beraktivitas seperti biasa. Dengan memakai seragam sekolah, kami menikmati sarapan pagi dalam diam.

"Bahkan di rumahku sendiri, aku dimusuhi," kata Arman tajam.

Aku memberi isyarat agar Renzi dan Renza menyingkir membawa adik-adiknya. Karena aku akan berbicara soal kepergian kami.

"Apa kamu nanti pulang malam?" tanyaku berhati-hati.

"Tumben kamu nanya, Dek," kata Arman. "Ada apa?"

"Nanti malam aku akan pergi ke Bali, acara perusahaan."

Arman terdiam. "Berapa lama?"

"Pulang hari Sabtu," jawabku. Perubahan ini adalah keputusan Pak Pandu. Karena sepanjang hari Rabu hingga Jumat kami akan sibuk sekali dengan rapat. Baru bisa liburan di hari Sabtu.

"Kamu nggak mikir itu anak-anak gimana kalau kamu pergi?" tanya Arman sinis.

"Anak-anak aku bawa. Semua."

Arman mengawasiku. "Perusahaanmu yang menanggung?" tanyanya penuh selidik.

Aku tidak menjawab. Biar dia berspekulasi sendiri tanpa perlu tahu rencanaku. Aku benar-benar harus menyabarkan diri agar tidak meledak. Karena aku tidak ingin membuat gara-gara yang bisa memancing keributan di antara kami, dan membuat kami batal pergi. Hohoho... tentu tidak!

"Hebat benar perusahaanmu," cibir Arman. "Sekolah anak-anak...."

"Sudah aku urus," kataku singkat.

Aku tidak perlu mengatakan pada Arman bagaimana aku harus menelepon sana-sini, menghubungi wali kelas serta guru keempat anak itu hingga mencapai kompromi. Boleh izin dengan syarat membawa tugas untuk dikerjakan selama bepergian. Tadinya aku menduga kalau Renza akan protes. Tetapi aku salah. Cowok itu menerima saja keputusan gurunya dengan hati tetap gembira.

"Bisa liburan aja udah seneng, Tante." Ucapannya didukung oleh Renzi.

Ya Tuhan, anak-anakku! Betapa kering hidup kalian! Membuatku berjanji dalam hati, di masa mendatang aku akan mengajak mereka bepergian. Tidak perlu ke tempat fancy, tidak perlu juga piknik dengan jasa tour guide mahal, yang penting bisa pergi sama-sama. Ke Yogya, ke Bandung, atau ke mana saja. Mungkin kami pergi berlima pun seru karena aku tidak berani berspekulasi apa pun tentang Arman. Dan juga masa depan kami sebagai pasangan.

Dan sebagai permulaan aku bertekad akan memberi momen terbaik dan pengalaman pertama yang tak terlupakan bagi mereka dalam perjalanan ke Bali. Apa pun taruhannya.

"Berarti kamu nggak akan kebaperan kalau aku akan ke Yogya hari ini," kata Arman. "Ada klien dari London yang mampir ke sana. Dan kami harus mengejarnya."

"Seingatku aku tidak pernah protes kamu mau pergi ke mana, berapa lama, dan sama siapa," kataku santai.

"Oh ya, tentu saja. Aku baru ingat, kamu istriku yang penuh pengertian, tidak pernah protes dengan semua kesibukanku," ejek Arman. "Sayangnya apa yang terlihat seperti penuh pengertian itu ibarat sekam di hatimu. Yang siap membakar begitu tersulut sedikit saja. Hati-hati, Dek."

"Apakah ini ancaman?" tanyaku.

"Kamu hanya tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan."

"Aku tahu. Karena Yang Terhormat Arini Reksobowo ini begitu berpengaruh? Karena keluarganya adalah praktisi hukum ternama, yang membuatmu menempel padanya bagai lintah?"

Arman menatapku tajam.

"Aku nggak pernah stalking, karena bagiku itu sama saja cari penyakit. Selama ini selalu Arini yang mencari gara-gara, bukan? Aku sebelumnya tidak pernah mau tahu dengan semua urusanmu. Tetapi informasi tentang keluarga Reksobowo itu muncul begitu saja dari mulut Pak Sjahrir."

"Sjahrir?" Arman mengerutkan dahi.

"Dia ayah bosku," jawabku. "Atasanku langsung adalah Pandu Sjahrir, putra satu-satunya dan sang pewaris. Ingat?"

Arman menatapku penuh perhitungan. "Dan di mana kamu bertemu? Dengan Sjahrir maksudku," tanya Arman berhati-hati.

"Di rumahnya. Mereka, keluarga Sjahrir mengundangku makan malam spesial tempo hari. Kenapa kamu kelihatan terkejut? Kamu nggak percaya aku bisa berkenalan dengan orang terpandang?"

"Aku lebih tidak bisa memercayai fakta, kenapa di antara begitu banyaknya pegawai, harus kamu yang jadi asisten eksekutif."

"Mungkin ini rezekiku," sahutku mulai menikmati kemenangan kecil ini. Iya, kusebut kemenangan karena sepertinya aku mulai bisa mematahkan stigma di kepala Arman tentang aku, istrinya yang penurut.

Kutinggalkan suamiku yang duduk di meja makan dengan wajah geram. Tetapi aku memberinya satu kalimat penutupan. "Memang ada baiknya kamu pergi juga, Mas. Mbak Asih toh cuti selama tiga minggu. Nggak ada yang urus kamu di sini. Dan jangan lupa bawa kunci sendiri. Karena kami berangkat malam nanti dijemput mobil perusahaan, kemungkinan kita nggak ketemu lagi. Kecuali kamu pulang lebih cepat dari kami."

Untuk perjalanan ini, aku sudah mengatur untuk menggunakan dua mobil, dan kami akan jalan dengan kendaraan terpisah. Karena tidak terbayang Pak Pandu mau bersama keempat anak-anakku yang pastinya ribut dengan segara kebutuhan mereka di perjalanan. Jadi seperti biasa aku sudah menyiapkan segalanya dengan sopir pribadi beliau. Sedangkan untukku dan anak-anak, aku meminjam avanza sederhana milik kantor, dengan janji sopir serta BBM aku yang bayar.

Aku nggak mau gratisan. Ini anak-anak Arman. Harus uang dia yang dipakai buat mereka. Keenakan banget kalau harus ditanggung kantorku. Seperti prinsipku semula, kalau Arman mau kerja sampai mampus, anak-anaknya berhak menikmati setiap peser rupiah yang dia transfer setiap bulan sebagai uang belanja itu!

Tetapi itu hanyalah sebuah rencana.

Karena pada kenyataannya yang muncul di depan rumahku malam itu adalah Vellfire warna gelap. Kupikir ini mobil siapa dan dari mana. Sampai Pak Bandi, sopir andalan bosku muncul dan menyambutku dengan salam. Aku yang baru pulang dari rumah Pak RT untuk menitipkan kunci duplikat sekaligus memberitahukan kalau rumah kosong selama beberapa hari, hanya bisa ternganga dibuatnya.

"Mama, mobilnya besar banget," komentar salah satu gadis kecilku.

Renzi juga terkejut. Sedangkan Renza nyengir lebar membayangkan akan naik mobil yang buat kami terlalu mewah ini.

Tapi yang membuatku lebih kaget adalah kemunculan Pak Pandu dari dalam mobil.

"Mutia, udah siap?" tanyanya sambil tersenyum. Lalu menoleh kepada keempat anakku yang menenteng aneka perlengkapan liburan. "Hello, guys! Are you ready?" sapanya dengan gembira. 

Perempuan KeduaWhere stories live. Discover now