tiga

16.5K 2.6K 55
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

SUDAH lebih dari lima tahun berlalu. Tetapi aku masih saja merasakan sensasi luar biasa setiap memasuki lobi tempatku bekerja. Sjahrir Advertising Company. Mendengar nama ini untuk pertama kali terasa aneh dan tidak match. Karena menurutku Sjahrir adalah satu nama klasik yang mungkin lebih cocok untuk disematkan pada nama kantor pengacara, akuntan publik, atau grup bisnis yang salah satunya bergerak di bidang properti.

Tetapi perusahaan yang dimiliki keluarga Sjahrir ini terkenal sebagai agen periklanan, pemasaran, dan public relationship. Alih-alih bersaing dengan perusahaan serupa di ibukota, perusahaan ini lebih memilih menyasar usaha-usaha yang banyak bertebaran di wilayah timur Indonesia. Dan menjadi salah satu yang terbesar di bidangnya.

Rutinitasku setiap hari. Setelah menyapa dua orang sekuriti yang berjaga di pintu masuk, aku melambai ramah pada resepsionis cantik yang bersiap di posisinya. Sayangnya aku tidak lagi membelokkan langkah menuju ke tangga yang akan membawaku ke lantai dua. Karena kantor Pak Pandu berada di lantai empat, dan aku harus mengakui kalau aku membutuhkan lift untuk menuju ke sana.

Aku menghampiri meja kerja baruku dan siap dengan tugas baru ketika Pak Pandu muncul dari balik pintu.

"Selamat pagi, Pak Pandu," salamku dengan melemparkan senyum sejuta watt terbaikku.

"Selamat pagi, Bu Mutia," sahut atasan baruku ini sambil mengangguk singkat, dan tanpa menoleh segera bergegas menuju ke kantor pribadinya di salah satu sudut ruangan luas ini.

Belum sempat aku berpikir tentang apa yang terjadi, tiba-tiba pintu ruangan terbuka lagi. Kali ini dengan sentakan kasar dan suara keletukan ujung sepatu yang berbunyi nyaring di lantai yang kebetulan tidak terlapisi dengan karpet. Dan seorang wanita cantik jelita seperti Barbie melenggang menghampiriku dengan ekspresi marah.

"Kamu siapa?" tanya wanita itu dengan nada menuduh. "Mana Bu Camilla?"

Dia adalah Gisela, tunangan Pak Pandu yang memiliki penampilan camera dearly ala Raisa, sang penyanyi ternama.

"Selamat pagi. Kenalkan, saya Mutia, pengganti Mbak Camilla," jawabku dengan nada sopan dan resmi.

"Oh, Bu Mutia," sahut Gisela dengan nada mengejek.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu mempersilakan wanita itu menemui tunangannya. Bukan rahasia lagi kalau Gisela memang suka memanggil perempuan mana pun, aku ulangi lagi, perempuan mana pun, dengan panggilan 'Bu'. Bukan untuk tujuan menghormati, tetapi sikap kesengajaan agar perempuan lawan bicaranya terkesan lebih tua darinya. Lucu kan? Padahal biodata orang sepertinya sudah menyebar seantero jagat di dunia maya. Termasuk tanggal dan tahun lahirnya.

Aku, Mutia, 30 tahun. Dia, Gisela, 34 tahun. Dan tunangannya, Pak Pandu, 32 tahun. Boleh kan, aku menertawakan keabsurdan wanita cantik tetapi insecure parah pada diri sendiri ini?

Tak sampai lima menit, pintu ruangan Pak Pandu terbuka dan Gisela muncul dengan muka masam. Wanita itu berjalan cepat dan melewatiku seolah aku makhluk tak kasat mata. Benar kata Mbak Camilla, cantik di media sosial nggak menjamin menarik di kehiduan nyata. Melihat wanita judes dan suka semaunya begini, siapa pun akan ogah bersimpati.

Dan sesuatu menggelitik perasaanku. Apakah Arman juga semakin tidak simpati padaku, karena aku yang judes dan suka semaunya ini? Kenyataan ini menamparku sekaligus menyadarkanku akan sikapku pada suami selama ini.

***

"Mutia!" Pak Pandu memanggilku dari intercom. "Masuk."

He? Mutia? Bukannya tadi memanggilku Bu Mutia, ya? Aku tersenyum dan bergegas menemui bos baruku.

Perempuan KeduaWhere stories live. Discover now