empat belas

16.5K 2.8K 384
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

TAWARAN Pak Pandu yang menyuruh sopir mengantarku ke tempat tujuan sungguh menggiurkan.

"Mobilmu akan aman di kantor, Mut. Kamu bisa pulang dengan taksi nanti."

Jadi bosku pun sudah menduga kalau pertemuanku dengan Arman akan gagal dan kami akan pulang terpisah? Sungguh visioner sekali. Salahku juga sih, menerima dengan mudah ajakan untuk mampir sejenak di sebuah restoran untuk makan malam. Menegaskan keenggananku untuk bertemu suamiku.

Kupikirkan lagi tawaran itu. Memang gengsiku akan melesat naik sekian ribu poin kalau aku bertemu Arman dengan diantar oleh Superman ini. Apalagi setelah apa yang dilakukan Arman kepadaku. Atau apa yang dilakukan Arini kepadaku, dan suamiku membiarkan hal itu terjadi. Akan menjadi balas dendam yang sepadan. Bahkan andai aku mau, aku bisa mengambil foto selfie bersama Clark Kent ini dan memajangnya di akun Instagramku atau menjadikannya foto profil di WhatsApp-ku.

Lalu aku menyesal memiliki otak waras yang tak segan berteriak menegurku dan melarangku melakukan hal bodoh yang hanya akan memperkeruh keadaan. Karena akal sehatku mengatakan bahwa niatku itu hanya akan membuatku di level yang sama dengan Arini. Wanita yang sekarang sedang aku benci setengah mati. Perempuan yang eksistensinya kucaci-maki dan dalam doa pun aku meminta pada Tuhan untuk membuat nasib perempuan itu benar-benar terpuruk hingga dia ingin mati.

Aku tahu Tuhan pasti tidak mengabulkan doaku yang semena-mena ini pada makhluk ciptaan-Nya. Tetapi Tuhan pasti juga memaklumi keabsurdanku sebagai reaksi wajar dari seorang istri yang sedang tersakiti dan terkhianati.

"Lebih baik saya kembali ke kantor saja untuk ambil mobil. Besok pagi saya membutuhkannya untuk mengantar anak sekolah," kataku menolak dengan halus. "Tetapi terima kasih atas tawarannya."

"Maaf ya, Mut. Aku nggak bermaksud apa pun dengan tawaran tadi. Hanya saja melihat kamu tempo hari di tepi jalan...."

"Saya paham kok, Pak. Dan saya tidak akan menyalahartikan tawaran itu. Saya tahu batas. Dan saya bersimpati dengan Gisela. Pasti berat baginya memiliki tunangan seperti Pak Pandu."

Pak Pandu tersenyum. "Kamu selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan, dan ahli menutup celah dari masalah."

Aku tersenyum. "Terima kasih, saya anggap itu sebagai pujian."


Arman menungguku di lobi hotel. Kupandangi wajah suamiku yang sudah berhari-hari terpisah dariku. Dan aku terkejut melihat penampilannya yang kucel. Kupikir dia akan biasa saja seperti kalau pulang dari perjalanan dinas. Lelah tapi tetap normal. Bukan pria bertampang lesu dan pakaian lecek yang kutemui sekarang. Bahkan kumis dan jenggotnya terlihat kasar.

Nggak mungkin kan, dia sedih karena pisah sama aku? Terutama setelah dia membiarkan Arini bikin kisruh begitu. Harusnya dia paham kalau hal seperti ini nggak akan kudiamkan. Tapi kutahan diriku untuk berkomentar. Karena saat ini aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk memastikan apakah pernikahan kami akan terus. Jangan-jangan malah mau bubar.

"Kita makan dulu," ajak Arman sambil menunjuk ke arah resto hotel.

Aku menggeleng. "Aku udah makan dalam perjalanan balik ke Malang," tolakku.

Arman tertegun sejenak. Lalu mengangguk. "Baiklah. Langsung ke kamar aja, lewat sini."

Dan aku menolak ketika Arman meraih lenganku untuk menggamitnya.

"Dek?" pria itu mengernyit.

Aku menggeleng. "Maaf, aku sedang tidak ingin disentuh kamu. Bisa kan, kamu menghormati keinginanku yang sederhana ini?" pintaku.

Perempuan KeduaWhere stories live. Discover now