dua belas

15K 2.8K 155
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

SUDAH dua malam Arman tidak pulang. Dan aku masih belum berminat membuka komunikasi dengannya. Aku tahu kalau kondisi ini semakin membuat perasaanku terpuruk karena ketiadaan kejelasan. Tetapi terus terang aku takut bertemu lagi dengan suamiku itu.

Aku takut mentalku tak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan bila suamiku mengakui hubungannya dengan Arini. Aku takut bila seperti yang selama ini terjadi, aku tidak sanggup mematahkan argumen Arman, dan selalu menjadi pihak yang kalah serta harus menerima keadaan.

Karena semakin kusadari, berbeda dengan aku, Mutia di kantor, di rumah aku hanyalah subordinat Arman. Di kantor aku bisa tunjukkan sisi lain diriku, aku bisa tertawa pada lelucon-lelucon teman-temanku, aku bisa memiliki dunia yang jauh dari urusan rumah tangga dengan segala tanggung jawab yang seolah tidak ada habisnya. Aku memiliki teman-teman kerja yang selevel, yang bisa menertawakan keabsurdanku tanpa menghakimi, yang berproses bersamaku sejak frekuensi nol, saat kami masih jadi kacung yang gajinya pun mengedip malu-malu pada UMR.

Dengan Arman, sejak awal aku melihatnya sebagai pria dewasa yang membuatku segan membantah. Dan aku menerima perlakuannya tanpa protes. Arman sosok yang tidak jauh beda dengan ayahku. Yang jarang mau berkomunikasi dengan kami anak-anaknya. Yang kehadirannya lebih berfungsi sebagai simbol status keluarga, dan semua permintaannya harus dilayani tanpa perlu bertanya.

Sampai aku mulai mengenal pasangan-pasangan lain, yang bisa hidup harmonis, tertawa bersama, berbantahan dengan bebas, dan mereka saling bergantung satu sama lain. Aku berusaha untuk tidak membanding-bandingkan diri dengan hidup orang. Jadi kutekan dalam-dalam ketidakpuasanku tersebut, dan berusaha menerima Arman sebagaimana adanya. Pria yang sudah mapan baik secara finansial maupun karakter. Aku tidak bisa mengubah kebiasaannya sedikit pun. Aku juga tidak memiliki konstribusi berarti dengan kepribadiannya. Kehadiranku sebagai istri seolah hanya pelengkap bagi hidupnya yang sudah sempurna.

Pertemuanku dengan Mbak Asri berlangsung keesokan harinya. Dengan alasan beliau sedang hamil muda, aku mengatakan kalau lebih baik kami bertemu di tempat yang dekat dengan rumahnya. Sayangnya justru aku tidak bisa datang tepat waktu karena Pak Pandu memberiku tugas mendadak yang tidak bisa aku tolak.

"Maaf ya, Mbak. Terlambat," kataku buru-buru begitu wanita itu berdiri menyambutku. Tentu aku merasa bersalah karena telah membuat wanita berkerudung itu menungguku.

"Nggak apa-apa. Aku yang harusnya meminta maaf, karena mengganggu waktu kamu. Sibuk banget ya, Dek?" tanyanya sambil tersenyum lembut.

"Baru ganti bos, Mbak. Jadi harus adaptasi," kataku tanpa sadar mengamati wanita yang belasan tahun lalu pernah menawan hati suamiku ini. Dan tanpa bisa kucegah aku membandingkan diriku dengan 'seniorku'. Lalu buru-buru aku berpaling melihat ke sekeliling karena merasa konyol sekali.

Mbak Asri memiliki kecantikan klasik khas orang Jawa. Ini adalah pertemuanku yang pertama dengannya. Dalam arti bertemu muka secara langsung dan sedekat ini. Sebelumnya aku hanya melihat sosoknya dari jarak jauh, saat dia melambaikan tangan dari balik pagar ketika aku ikut Arman menjemput anak-anak.

"Renzi meneleponku kemarin," kata Mbak Asri setelah kami duduk berhadapan. "Aku terkejut karena dia bilang Mas Arman tidak pulang."

Aku pun bengong. "Maksudnya, Mbak?" tanyaku heran. Kupikir Mbak Asri ingin berbicara tentang keberadaan kedua anaknya yang sekarang tinggal bersamaku. Kenapa membahas masalah Arman yang tidak pulang? Apakah Renzi khawatir? "Ehm... Renzi nggak mengeluh apa-apa, kan? Maksudku, masalah Arman nggak pulang itu bukan hal yang aneh kok. Dia sibuk dan sering pergi ke luar kota berhari-hari."

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang