lima

14.8K 2.5K 33
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

AKU berusaha sesantai mungkin sambil menunggu Arman pulang. Itu bisa pukul sembilan, bahkan mungkin pukul sepuluh malam. Saat anak-anak sudah tidur. Dan aku harus menghadapi pertempuranku sendirian.

Prospek melakukan pembicaraan serius dengan Arman selalu membuatku khawatir. Kombinasi antara aku yang keder saat harus menyampaikan pendapat, serta sikap Arman yang selalu menganggapku anak kecil. Saat berdebat, dia berbicara kepadaku seperti sedang menenangkan anak kecil tantrum. Nada yang digunakan sama persis seperti ketika melerai pertikaian Alika dan Alita. Kalau aku ngotot, Arman hanya tersenyum meremehkan, lalu iseng menciumku, dan membiarkanku berbuat semauku. "Ngambek nggak apa-apa, deh. Tapi jangan lama-lama ya, Dek," katanya dengan menyebalkan.

Cukup lama aku menyadari kalau di antara kami, tidak ada diskusi saling melengkapi. Yang ada adalah aku meminta, dia memberi. Dia melarang, aku mendiamkan.

Kekhawatiranku kali ini berlipat-lipat karena urusan Renzi dan Renza ini tidak sederhana. Apalagi kalau melibatkan Mbak Asri. Sejak awal menikah Arman telah dengan jelas memberi batas agar aku tidak ikut campur masalah anak-anaknya dengan mantan. Bukannya aku kepengen juga. Hanya saja menurutku tidak ada salahnya kan, kalau sekali-sekali aku tahu apa yang dilakukan suamiku untuk kedua anak ini? Apalagi kami akrab lho.

Pukul delapan malam. Aku dengan keempat 'anak-anakku' duduk melingkari meja untuk makan malam yang terlambat. Biasanya aku tidak makan berat di malam hari. Arman juga jarang makan di rumah. Sedangkan untuk kedua gadis kecilku, mereka hanya memakan menu sederhana yang mudah dibuat.

Tetapi dengan kehadiran dua remaja yang sedang butuh gizi, akhirnya aku putuskan untuk memasak nasi lagi. Lalu Renzi menunjukkan keahliannya membuat omelet telur yang enak, sedangkan aku menambahkan capcay, merebus spaghetti, dan menggoreng ebi furai untuk camilan tambahan para teenager ini.

"Menunya acak nggak apa-apa kan?" tanyaku pada gadis kelas XII ini yang duduk di sebelahku. Mataku mengawasi Renza yang sedang membantu Alika dan Alita dengan garpu untuk spaghetti mereka agar tidak berantakan mengenai taplak meja.

"Ini udah keren banget menunya, Tante," kata Renzy sambil tersenyum.

Aku mengobrol bersama kedua remaja ini, sambil sesekali berkomentar pada pertanyaan kedua putriku. Aku menyayangi Renza dan Renzi karena keduanya jenis orang yang dengan mudah membuat jatuh hati. Apalagi untuk ukuran remaja, mereka memiliki sopan santun yang baik. Dan bisa menerima kondisi keluarganya yang super unik tersebut. Pasti berat bagi keduanya tumbuh dewasa dengan orangtua yang bercerai, yang masing-masing sudah memiliki keluarga sendiri.

Setelah makan, Renza menggiring kedua adiknya menuju kamar. Cowok itu berjanji akan membuat gambar karikatur bagi kedua adiknya. Sedangkan aku membereskan sisa-sisa makan malam kami, dengan bantuan Renzi. Bersama gadis yang sebentar lagi lulus SMA ini, aku seperti mendapatkan teman. Kami bisa membicarakan banyak hal remeh, seperti kuliner kekinian, fashion terbaru, juga hiburan.

"Kupikir ada apa, kok ribut banget," terdengar suara dari arah belakang kami.

Aku menoleh terkejut. Tetapi keterkejutanku tidak ada apa-apanya dibanding keterkejutan Renzi yang seketika pucat melihat kehadiran ayahnya.

"Ternyata dua gadis kesayanganku lagi pesta cuci piring."

Arman berdiri tak seberapa jauh dari tempat kami. Terlihat lelah tetapi tetap menawan seperti biasa.

"Malam, Pa," sapa Renzi dengan suara gugup. Cepat-cepat gadis itu mengeringkan tangannya, lalu mendekati ayahnya untuk mencium tangan pria itu.

Arman menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.

"Mereka datang untuk menginap," kataku singkat.

"Menginap? Di hari sekolah?" Arman mengernyit.

"Nggak apa-apa, kan?" aku bertanya balik. "Ini juga rumah orangtua mereka juga." Lalu aku menoleh kepada anak tiriku. "Renzi, kamu cek dulu adik-adikmu. Udah tidur belum. Jangan-jangan diajakin main melulu sama Renza."

"Iya, Tante," jawab Renzi penuh rasa terima kasih sambil buru-buru menyingkir.

Kini kami tinggal berdua. Arman menatapku tajam. Aku tahu cepat atau lambat aku harus menjelaskan tentang situasi ini. Tetapi melihat wajah suamiku yang mendadak keruh, aku putuskan untuk menundanya.

"Mau makan?" tanyaku. Dan aku langsung menyesali tawaranku itu, yang meluncur begitu saja tanpa kupikir dulu.

"Nggak usah. Aku udah makan di luar barusan. Teman Arini bikin resto baru dan kami nyobain."

Aku mengangguk lemah. Meskipun ingin bertanya, kami yang dimaksud suamiku itu dia bersama rombongan teman kerjanya, atau dia berdua Arini.

"Oke," jawabku sambil memutar badan, kembali ke depan bak cuci piring. Melanjutkan pekerjaan yang tersisa. Diriku yang pengecut ini memang sudah kukenal dengan sangat baik.

Lagian aku juga bodoh banget. Ngapain pakai nanya segala, kalau sudah tahu jawabannya? Tahun-tahun terakhir ini Arman yang semakin sibuk membuatnya jarang makan malam di rumah. Apalagi karena dia menjadi orang paling penting di LSM tempatnya bekerja.

Apakah aku keberatan dengan kebiasaan itu? Sangat.

Apakah aku pernah mengatakannya kepada Arman? Pernah. Sekali.

Dan jawaban malah membuatku sakit hati. "Kan, makan malam ditanggung kantor, Dek. Kamu aneh-aneh aja. Apanya yang salah, sih?"

Saat itu aku merasa jadi orang paling bego sedunia. Dan berjanji untuk tidak pernah bertanya lagi.

Gelas terakhir telah selesai kucuci dan kulap. Aku akan meletakkan benda itu ke rak paling atas ketika kurasakan sepasang tangan kekar mendekapku dari belakang. Dan bibir Arman menciumi leher belakangku.

"Aku kangen banget sama kamu," bisiknya.

Jantungku berdebar keras ketika merasakan gairah suamiku yang memelukku erat. Apakah gairah ini karena aku? Atau karena orang lain yang dia lampiaskan padaku?

"Ada anak-anak, Mas," tolakku lemah sambil berusaha melepaskan diri dari rengkuhannya.

Tetapi Arman tidak bisa ditolak semudah itu. Dia mencium bibirku dalam-dalam. Sebelum melepasku dan membuatku sedikit oleng.

"Mas mandi dulu, ya. Nanti kita lanjut di kamar," katanya sambil tersenyum dan mengecup puncak kepalaku. "Tahu nggak, kamu tuh bikin nagih."

Sementara aku mencari-cari cara yang tepat dan kalimat yang pas untuk menyampaikan masalah anak-anaknya, dan agar Arman mau fokus pada pembicaraan kami nanti, pria itu malah hanya fokus untuk bagaimana menghabiskan malam denganku. Kebimbangan yang pasti terlihat di wajahku hanya dia tanggapi dengan senyum menggoda. Dia meremas pinggulku sebelum berjalan meninggalkanku.

Arman memang begitu. Dia memperlakukanku seperti mainan kesayangannya.


Perempuan KeduaWhere stories live. Discover now