delapan belas

16.4K 2.8K 192
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

PAK PANDU benar-benar menuntutku bekerja secara total. Karena banyak sekali terobosan yang dibuat atasanku itu untuk mengejar target seperti yang minta oleh sang ayah. Tiada hari tanpa meeting dengan staf. Dan aku belum pernah merasakan bertemu orang sebanyak ini sebelumnya.

Aku pontang-panting memenuhi tuntutan Clark Kent ganteng yang kalau kerja seolah nggak punya capek itu. Saat aku mati-matian mengumpulkan materi laporan, si ganteng ini akan meluncur untuk main golf bersama seorang calon klien potensial. Ketika aku sudah kusut masai di depan laptop dengan setumpuk data yang harus aku periksa ulang, bosku akan pulang dengan wajah terbakar matahari, pakaian basah karena keringat, tetapi dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Undang divisi marketing ya, Mut. Setelah itu siapkan materi rapat. Sepertinya pihak D'Daun mau pakai jasa kita untuk publikasi bisnis barunya. Aku baru saja makan siang bareng owner-nya, setelah golf tadi."

Aku segera mencatat instruksi itu.

"Oh ya, Pak. Tadi Bu Gisela...."

"Udah, kamu atur aja restoran mana yang bisa di-booking buat besok. Sekalian beliin bunga ya, dan pastikan sudah ada di mobilku ketika aku berangkat jemput dia. Jangan lupa, kasih ucapan manis di kartunya. Gisela suka model kencan ala-ala zaman dulu. Romantis dan privat."

"Baik, Pak."

"Dan jangan sampai dia tahu kalau kamu panggil dia Bu Gisela di belakang punggungnya," seringainya dengan jail.

Aku mengangguk. Terus terang aku tidak bisa menjadikan hubungan Pak Pandu dan Gisela ini sebagai candaan. Pak Pandu mengingatkan aku pada Arman dan Arini, dengan asumsi suamiku ini berkata jujur.

"Pasti hubungan antara aku dan Gisela udah nggak menarik minat kamu ya, Mut? Dengan masalah yang terjadi dalam pernikahanmu, aku akan sangat maklum kalau perasaanmu juga menjadi tawar."

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Tapi jangan jadikan masalah itu sebagai jalan bagi kamu untuk menyamaratakan semua pria, Mut."

Aku menggeleng. "Sayangnya apa yang Pak Pandu lakukan pada Bu Gisela itu sama persis dengan apa yang dilakukan suami saya ke teman perempuannya," kataku lirih.

Ucapan itu muncul begitu saja tanpa sanggup aku kontrol. Membuatku terkejut dan merasa sangat bersalah. "Maaf, Pak. Bukan maksud saya...."

"Hm jadi begitu, ya? Kapan-kapan kamu harus cerita apa yang terjadi dengan suami kamu. Siapa tahu bisa menjadi pelajaran buatku."

Ha? Nggak salah nih?

Untung saja setelahnya kami benar-benar dihajar kesibukan. Sehingga topik sensitif itu terlupakan begitu saja. Dan kesibukanku ini membuatku harus lembur selama beberapa hari. Hingga terjadi peristiwa paling epic dalam sejarah pernikahan kami. Yaitu ketika aku baru saja menghentikan mobil di depan rumah, bersamaan dengan sebuah mobil yang lain –taksi online—berhenti di depanku dan Arman keluar dari kursi penumpang.

Pria itu menungguku hingga aku selesai memasukkan kendaraan ke garasi, hingga aku berjalan menghampirinya yang berdiri di teras rumah. Suamiku menatapku tajam, dengan wajahnya yang kuyu kelelahan. Tanpa kata dia melihat jam tangannya.

"Ini sudah jam sepuluh malam, Dek," katanya.

Aku mengangguk.

"Anak-anak...."

"Tadi aku sudah mengirim makan malam mereka melalui GoFood," kataku enteng. "Aku memantau mereka setiap jam. Aku menelepon dan mengobrol bersama mereka."

Perempuan KeduaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ