enam

15.9K 2.5K 99
                                    

catatan: Revisi dikit ya. Masih sama, tapi dirapikan. Sekaligus menambal yang bolong-bolong setelah proof read untuk diterbitin.

ALIH-ALIH menyiapkan baju ganti untuk suamiku yang sedang mandi, aku memilih menuju ke kamar anak-anak. Tempat mereka sedang ribut bercengkrama.

Aku tersenyum melihat Renza tengkurap di lantai, dengan Alita menduduki punggungnya. Cowok itu pasrah saja ketika rambutnya dijadikan sasaran kreativitas si bungsu, yang menguncirnya dengan pita aneka warna. Sedangkan Renzi berbaring bersama Alika, membaca buku cerita bersama-sama.

Melihat ini, hatiku terasa hangat. Dan aku iri sekali pada Mbak Asri yang memiliki anak-anak sehebat ini. Sekarang aku penasaran alasan di balik kepindahan mereka. Sebab menurutku, sebagai anak, pasti lebih nyaman bersama ibu kandung. Jadi kalau kedua remaja ini memilih tinggal bersama ibu tiri, pasti ada sesuatu. Sayangnya aku ragu apakah Arman akan membiarkan aku mengetahui urusan yang menyangkut anak-anak ini dan mantan istrinya. Arman sangat pintar dalam menghadirkan perasaan terasing padaku. Membuatku menjadi orang luar di antara hubungan Arman, Asri, dan anak-anaknya.

Melihat aku berdiri di ambang pintu, Renzi bertanya. "Tante, Papa sudah...."

Aku menggeleng. "Ntar, ya. Tunggu saat yang tepat, baru Tante bisa bicara."

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum cantik. Senyum menawan seperti milik Arman.

"Jadi untuk saat ini, akad kalian sama Tante adalah menginap di sini," kataku. "Sepakat?"

"Untuk jangka waktu yang tidak ditentukan ya, Tante?" tanya Renza jail.

Membuatku menarik pelan salah satu kuncir rambutnya. Dan ABG itu berteriak-teriak heboh. "Lebay!" omelku sambil ikut duduk di lantai.

"Ngapain Tante duduk di lantai. Paling juga bentar lagi Papa nyariin," komentar Renza. "Papa kan paling nggak bisa jauh-jauh dari Tante."

"Kamu tuh ya, kalau ngomong. Lemes amat," balasku.

Renza dan Renzi cekikikan.

Hubunganku dengan Arman, di mata orang lain, memang semesra itu. Karena Arman memang tidak segan-segan merangkul, memeluk, bahkan mencium pipiku di depan keluarga besar kami. Dulu, saat kami masih sering pergi berdua, suamiku bersikap seolah tidak bisa lepas dariku. Tangannya selalu menggandengku, atau memegang lenganku, menyentuh punggungku, apa pun jenis kontak fisik yang memungkinkan untuk dilakukan.

Dulu aku merasa tersanjung karena sikap Arman yang selalu mesra. Lama-lama jadi biasa saja. Dan sekarang, aku malah ragu. Benarkan kami memang sedekat itu? Aku penasaran, apakah aku selalu ada di dalam pikiran suamiku? Apakah ketika dia sibuk dengan pekerjaannya yang seolah membutuhkan waktu 24 jam sehari, tujuh hari seminggu itu, dia juga mengingatku sebagai 'seseorang' yang bukan sekadar status istri penghangat ranjang saat dia pulang?

Semakin ke sini, interaksiku bersama suami semakin berkurang. Seiring dengan kebersamaan yang semakin menyusut karena kesibukan. Alasan klasik. Tetapi nyata. Jam kerja normal Arman dimulai pukul delapan pagi dan seperti orang normal lainnya, harusnya dia pulang jam lima petang. Tetapi yang terjadi, suamiku sering pulang larut malam. Bahkan waktu libur akhir pekan pun kadang masih harus dikorbankan demi beragam acara untuk menunjang pekerjaan. Entah berupa peninjauan lapangan, atau bertemu dengan kelompok masyarakan obyek program yang dijalankan oleh Arman dan tim.

Aku tidak rela menjalani hidup demikian. Tetapi aku berusaha membujuk perasaanku sendiri untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup yang ditawarkan kepadaku. Berkali-kali aku bertanya dengan halus kepada Arman, tidak bisa kah dia meluangkan waktu lebih banyak dengan anak-anak? Yang selalu dijawab, andai bisa pasti sudah dia lakukan tanpa diminta.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang