EMPAT PULUH DELAPAN

Start from the beginning
                                    

Perlahan tawa Bara berhenti. Cowok itu tampak sedang memikirkan sesuatu sebelum ia bicara, "habis ngomong sama bokapnya Ratih udah bisa buat lo tenang?" tanya Bara. Dia tahu Kania terus memikirkan soal Ratih sepanjang waktu. Setelah menemui Ayah Ratih untuk minta maaf, Bara berharap Kania bisa sedikit tenang.

Tapi menjadi salah satu penyebab seseorang bunuh diri tidak bisa membuat Kania tenang dengan mudah. Rasa bersalah masih terus menghantuinya. Namun Kania tidak ingin Bara khawatir soal itu. Jadi dia hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.

"Kania!"

Kania dan Bara secara kompak menoleh pada sumber suara. Tentu saja suara itu terdengar tidak asing di telinga mereka. Pemilik suara itu, Adeline, berjalan mendekati meja Kania dan Bara bersama seorang cowok. Sama seperti Kania dan Bara, Adeline dan cowok di sebelahnya masih mengenakan seragam sekolah.

"Kebetulan ya kita ketemu di sini. Jangan-jangan ini tanda kita harus jadi temen?" Adeline yang biasanya angkuh dan terkesan sulit didekati kini terlihat sedikit lebih santai. Tanpa izin ia langsung duduk di kursi sebelah Kania dan merangkul Kania seolah mereka akrab.

Merasa risih, Kania melepas rangkulan Adeline dan menatap cewek itu dengan tatapan yang berarti 'Nggak usah sok akrab'.

Adeline terkekeh pelan. "Oke-oke!"

"Duduk di meja lain, masih banyak meja kosong." Bara berkata dengan malas. Adeline sangat gemar mencari masalah, apalagi dengan Kania. Dengan satu alasan tersebut sudah cukup membuat Bara engga duduk satu meja dengan cewek itu.

Ekspresi yang ditunjukkan Bara menjelaskan isi pikirannya sehingga Adeline buru-buru menjelaskan, "Santai. Gue nggak akan cari masalah, kok! Tapi maaf-maaf aja ya, gue udah move on dari lo! Sekarang gue sama Kania temenan, lho."

"Sejak kapan?" tanya Kania.

"Ya sejak hari ini!" Adeline tersenyum lebar dengan mata berbinar. Sikap Adeline yang dulu dan yang sekarang seperti dua orang yang memiliki kepribadian yang saling bertolak belakang. Orang-orang yang sudah terbiasa dengan sikap angkuhnya mungkin akan syok melihat perubahan ini. Yah ... dia hanya mencoba menjalani hidup yang lebih baik.

Tatapan Adeline beralih ke Bara. "Ngomong-ngomong, lo putusin semua pacar lo, ya?" Sudah banyak yang tahu soal ini, Adeline bertanya hanya untuk memastikan kebenarannya.

"Bukan urusan lo."

Mendadak Adeline menunjukkan wajah malasnya. Tiga kata itu sangat sering keluar dari mulut Bara dan Kania, sampai-sampai ia muak mendengarnya lagi. "Tinggal jawab iya atau enggak aja susah banget."

Adeline kembali serius, sesaat ia seperti tengah memikirkan sesuatu. Secara tak sengaja ia melihat kissmark di leher Kania. Mata dan mulutnya spontan melebar karena terkejut. "Ohh wah! Jangan-jangan cuma Kania yang nggak lo putusin?"

Tentu saja Bara terlalu malas untuk menjawab.

"Udah ketebak sih, tapi gue tetep kaget. Tapi gila, ya! Cowok kayak lo akhirnya tau juga yang dinamakan cinta," ujarnya, agak lebay.

Adeline terlalu berisik membuat Kania ingin menyumpal mulut cewek itu dengan gumpalan kertas. Saat Kania hendak menyuruh Adeline menutup mulutnya, cowok yang tadi datang bersama Adeline bicara lebih dulu.

"Sayang, aku ke toilet sebentar, ya."

"Oh, oke!" Setelah kepergian cowok itu, Adeline tersenyum pada Bara dan Kania. "Dia pacar gue, ganteng, kan?"

"Kenapa lo banyak omong banget daritadi?" Kania yang kesal mulai bicara blak-blakan.

Adeline sama sekali tidak tersinggung, malah dengan santai ia menjawab, "Bukan gue yang banyak omong, tapi kalian yang ngomongnya ngirit ... ngomong-ngomong, kalian udah ngapain aja?"

Telinga Kania sudah tidak asing lagi dengan pertanyaan ini, namun tetap saja ia merasa kesal setelah mendengarnya. "Lo maunya kita ngapain aja?" tanya Kania sambil menatap dengan tajam.

"Oke-oke, nggak usah natap gue kayak gitu!" Adeline tersenyum penuh arti. "Gue percaya lo nggak sebodoh gue." Dia mengingat perkataan Kania di hari penutupan turnamen.

Tanpa dijelaskan pun Bara sudah tahu maksud kata-kata itu. Dia menatap Kania untuk melihat reaksi cewek itu. Namun, Kania sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. "Gue nggak akan ngelakuin itu," cetus Bara

Kania menatap Bara dengan kening mengkerut. "Apa?"

"Gue nggak akan ngerusak lo."

Kania melihat keseriusan di mata Bara. Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seulas senyum penuh ketulusan. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa.

***

Semoga suka!

Aku usahain update secepatnya!!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now