Bab 7

50 7 4
                                    

"Gue?" Sulton menunjuk wajah dengan telunjuknya sendiri saat Inges bertanya mau jadi apa dirinya besok, "sesuai permintaan takdir, yang jelas gue harus punya banyak uang."

Tidak ada yang bereaksi dengan jawaban Sulton, baik Inges, Bages, Nila, atau Pipit.

"Standar, semua orang di muka bumi ini juga tujuannya itu, uang, hidup buat nyari uang, yang spesifik dong, yang jelas, kayak Inges, udah jelas. Kasir."

"Latar belakang gue ekonomi menengah ke bawah geng, masang standar tinggi juga ga mungkin, apa gue masuk pendidikan satpam kali ya?" celetukan Sulton kali ini, membuat Inges menoleh.

"Otak lo mulai kerja, Nul."

"Gue jadiin satpam batu loncatan kayaknya asik, kalau langsung dapat tempat kerja gue bisa sambilan kuliah."

"Pencerahan lo, gue dukung. Mau jadi apa aja, yang penting lo jujur, yakin gue lo selamet."

"Najis, sok tua." Maki Pipit.

"Eh, lo telen ya nasehat gue ini," balas Inges sambil matanya melihat seorang temannya di pintu kelas, "Jan, bawa sini dagangan lo kalo ada sisa!" Teriak Inges.

"Lo mentok kasir, seriusan Nges?" Sulton melempar tanya.

"Gue udah minta sama takdir jadiin gue kasir," kata Inges menjawab Sulton. "Risol lo kok tumben masih segini banyak?" Alih Inges pada Jannah yang sudah tiba di lingkaran mereka.

"Tauk gue, pada bosen kali ya makan risol."

"Wahai umat IPA 2, silakan makan, kita abisin risolnye Jannah."

"Inges, beneran, jangan di utangin," beo Jannah.

Nila yang tadinya serius dengan sebuah novel mini  menanggapi, "dia mah jadi gembel juga halal, keturunan Permana gitu dan Jannah, kalo Inges ga bayar kes nih risol, lo bisa tagih kak Arya."

"Kemprit, jangan sebut tu nama di sini!"

"Gue satpam, Nila nyasar bank, Pipit ngejurus perawat, lo ga ada niat nyari cita-cita yang lebih bonafit?" Ungkit Sulton lagi.

Obrolan random itu terus berlanjut, bersamaan dengan risol Jannah di comot satu-satu. Inges juga sempat menawarkan pada teman di luar lingkar duduk mereka. Jannah senang bukan kepalang, risol di borong habis.

"Lo lagi bahas-bahas kerjaan, gue sumpel juga bacot lo, ga cukup apa nih risol sekotak. Kasir, titik." Omel Inges pada Sulton.

"Sialan, calon satpam aja blagu lo," sebuah buku catatan melayang ke wajah Sulton. "Kasir tu kerjaan paling stabil, banyak ga banyak pembeli tetap di gaji."

"Kalau itu jawaban lo, lo di bawah standar gue banget sih Nges, menjurus down intelengent."

"Serah lu ngatain gue apa."

"Lu kerja keras sampe bedarah-darah, Ton, yang tajir tetep Inges."

Tawa kecil tak terhindarkan timbul antara kawanan teman sekelas itu, jam pelajaran yang kembali kosong, karena Pak Maliki yang katanya keluar kota mengisi seminar sains membuat mereka bebas sementara dari jejalan rumus Fisika.

"Cuma di profesi itu tangan gue bisa bergerak lincah di atas keyboard sambil dilihatin orang," Inges menjawab datar, tak peduli tawa yang ia timbulkan.

"Banyak kali Nges kerjaan yang bisa bikin lo ngetik, teller bank, penulis, akuntan..."

"Yang paling sedikit intensitas mikirnya cuma kasir, Nul. Tau lah kau, aku suka bikin rumus sendiri masalah pelajaran ngitung."

"Berarti lo beneran bego Nges, ga mau mikir, gue masih mending."

"Bodo."

"Yang butuh pencerahan lo, Nges." Sulton belum berhenti.

Cashier Wanna BeWhere stories live. Discover now