Bab 2

64 7 0
                                    

Selamat membaca
.
.
.
Semoga terhibur

Pukul 09.15 adalah jam istirahat pelajaran bagi semua murid yang ada di SMA Pancaka. Para siswa siswi biasanya akan terbagi menjadi beberapa kubu dalam mengisi jam istirahat.

Bagi murid dengan tingkat intelegensi tinggi, perut terlatih menahan lapar dan kenyang sendiri hanya dengan membaca, akan menghabiskan waktu di perpustakaan. Ada pula beberapa murid dengan tingkat keimanan di atas rata-rata murid lain, bahkan melewati tingkat ketaqwaan guru mereka, akan menghabiskan waktu di pelataran tempat ibadah. Lain lagi halnya dengan murid yang tingkat intelegen standar ke bawah, tak tahan dengan lapar karena memang orang tua mereka tidak mengurusi sarapan mereka lagi, di tambah kurangnya kadar taqwa tentu saja akan menghabiskan waktu di kantin sekolah tercinta.

Inges mungkin tidak termasuk dalam ketiga golongan itu. Inges yang terlalu peka, sudah sangat tahu di mana ia bisa mengasah kemampuan ngasirnya meski dia sedang di lingkungan sekolah. Tidak jauh-jauh dari itung-mengitung uang, Inges akan menghabiskan waktu di kantin pastinya. Tidak sebagai murid yang haus dan lapar tingkat dewa, tapi ia akan bertidak sebagai orang yang membantu Mba As melayani para murid yang sudah berjejal meronta ingin mengisi perut mereka.

"Nges, lo ga bisa apa jam istirahatnya kayak murid normal lain? Sekali-kali lo ikut kita makan napa." Oceh Pipit, teman sebangku Inges.

"Emang gue ga normal apa, gigi lo tu semenin, ngomong ga di pikir," Inges misuh-misuh, "bisa aja sih, tapi lagi pengen ngasir dulu guenya. Lagian kasihan Mba As, cuma berdua sama Mba Ratna ladenin setengah dari murid sekolah ini. Syukur-syukur kalau semua bisa kontrol perut, bisa sabar di layani, ini kadang otak juga ga di kontrol, kadang bayar kadang enggak, uang cuma sepuluh ribu, belanja lima ribu, eh minta kembaliannya tiga puluh. Asem ga tu?" Dumel Inges lagi.

"Emang ada yang begitu?"

"Banyak kali Pit, malah ada yang belum ngasih uang tapi bilangnya sudah. Ga tahu deh otak ama budi luhur mereka kemana. Lagian gue udah resmi anggota Kopsis sejak kelas satu," koar Inges.

Inges hampir berlalu, tapi Pipit menahan tangannya lebih dulu.

Mata Pipit menyipit. Me-rewind ingatan setahun lalu. Kejadian mengejutkan yang baik Pipit bahkan Inges tidak sangka.

"Kok bisa ya dulu pas hari terakhir MOS lo langsung kepilih masuk anggota OSIS, jadi bendahara pula?"

Kepala Inges naik turun. Dia juga sering bertanya-tanya sendiri kenapa senior yang meng-OSPEK mereka dulu memanggil namanya sebagai anggota inti OSIS dengan jabatan Bendahara 2.

Malas berpikir, Inges akhirnya berkata;

"Ga ngerti juga, tanya ke kak Lale aja sono, udah ah kayaknya udah rame, gue ke kantin, lo ama Nila aja, atau Bages deh!"

"Hm, lo jalan aja!" sahut Pipit sambil merapikan buku-bukunya.

Tiba di ruang kantin setelah melewati pintu khusus di belakang, Inges mendapat geraman dari Mba As, sang pengelola kantin SMA Pancaka. Sudah pasti karena kedatangannya yang sedikit terlambat.

"Jangan manyun mba As, cantiknya geser lho."

"Cepat ke bagian timur, yang banyakan murid laki tu, jangan sampai ga ngasih bayar."

"Sip mba."

Setelahnya, Inges beraksi melayani permintaan teman seangkatan, adik kelas hingga kakak kelas yang berbaur berlomba, berjejal, berdesakan, sambil berteriak menyebut pesanan mereka. Inges sudah terbiasa dengan rancauan jemaah kantin. Semua menyodorkan tangan berisi uang. Di saat-saat seperti inilah Inges harus jeli bin teliti. Mata, kepala, serta tangannya harus bekerjasama sebaik mungkin agar tidak melakukan kesalahan dalam menyediakan pesanan, memberi kembalian, dan mengingat siapa dan berapa jumlah uang yang ia terima. Menjadi penjaga kantin sungguh harus bisa multitasking ekstra. Meski kisaran belanja sisiwa sekolah lebih rendah dari pembeli di toko pak Karse, tapi melayani pembelian para siswa termasuk lebih sulit.

Cashier Wanna BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang