Part 64 [ Flu Virus ]

102 21 1
                                    

Jangan ditanya apakah aku senang atau tidak. Jawabannya sudah sangat jelas di ekspresi wajahku.

***

Gue jalan ke bangku gue dan menduduki singgasana gue dengan santai. Gue iseng noleh ke belakang dan ternyata Choki lagi berdiri dengan satu buku di tangannya.

“Choki mau kemana?” Tanya gue dongak natap dia.

“Ruang guru, mau ngumpul tugas. Gue telat kemarin ngumpul soalnya ada urusan ekstra.”

Gue manggut-manggut, “Ikut ya?”

Tumben juga sih gue mau ikut secara kan gue orang ter-mager di kelas untuk beranjak dari tempat duduk.

Gue liat Choki narik napas dalam-dalam dan kemudian berucap, “Boleh emangnya? Pacar lo kan cemburuan?” Tanyanya pelan.

Gue tercekat. Astaga. Siapa sih biang keroknya disini? Gue ataupun Yogara jujur dari kemarin kita gak ada konfirmasi apapun. Sengaja, karena gue gak mau terlalu ngumbar hubungan. Setidaknya sih gue kemarin hanya cerita ke Ayah, Ibu, Bara, dan Jaira hanya lewat chat doang. Setelah itu, sama sekali gue gak ada ngasik tau siapapun.

“Ko-kok lo tau?” Tanya gue dengan polosnya.

“Kemarin di Kafe Rising Sun kan?” Tanya Choki pelan dan spontan ngebuat gue ngangguk kayak anak kecil, “Gue disana, ada acara kumpul-kumpul sama temen SMP.”

Gue refleks melongo. Lah masak? Kok gue gak liat? Apa.. dia outdoor ya?

“Te-temen SMP lo?” Beo gue. Kalau temen SMP Choki, itu berarti Hendra sama Julio ada dong ya?

“Iya. Selamat ya Nal.” Ujarnya.

Gue entah kenapa lagi-laginya ngerasa bersalah. Gimana ya. Disaat gue sedih, Choki-lah orang yang selalu nemenin gue. Tapi.. gue malah selalu ngebuat Choki dalam kesedihan dan gue gak pernah hibur dia.

“Choki.. ma—“

“Apa? Maaf lagi? Mau sampai kapan terus-terusan bilang gitu?”

Gue nundukin kepala, gak tau harus ngomong apa selain kata ‘maaf’.

Dia jadi maju dan ngacak rambut gue lembut, “Jangan salah paham lagi. Selesaiin setiap masalah dengan baik. Gue gak bisa selalu nemenin elo sekarang karena elo udah ada yang punya. Gue hanya berharap satu, lo bisa bahagia.”

Gue beraniin diri natap Choki, “Ki.. apa yang perlu gue lakuin untuk balas semua jasa lo ke gue?”

Dia nampak berfikir, “Apa ya?”

“Bilang aja, gue akan turuti pasti.”

“Kalau minta lo putus sama dia dan jadi pacar gue gimana?”

Deg. Gue seketika membeku. I-ini serius?

Tak lama kemudian Choki malah terkekeh, “Bercanda. Gue gak sejahat itu.”

Gue mendengus kasar dan diam-diam bernapas lega.

“Trus apa?” Tanya gue.

“Tetep jadi temen gue dan jangan pernah canggung sama gue, itu aja cukup bagi gue.”

Gue jadi mendecak, “Lo tuh baik banget sih.”

Dia hanya mengedikan bahu dan ketawa kecil. Gue entah kenapa kali ini peka kalau sebenernya ada luka yang disembunyiin sama Choki dibalik tawanya. Andai aja gue punya sisi kejam, maka gue akan macarin dua-duanya secara diam-diam.

“Ki.. lo gue anggap sahabat gue paling terbaik.  Kita akan selalu jadi sahabat, setuju?” Gue ngajuin kelingking ke dia.

Dia sempet natap kelingking gue dengan tatapan nanar dan kemudian nyatuin kelingking kita dengan ragu, “Setuju.” Ujarnya pelan.

BOTHERSOME ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang