Bab 20: Pulang

8 2 0
                                    

Tiupan angin membuat daun-daun dari pohon saling bergesekan, menimbulkan suara yang terdengar menyeramkan. langit mulai gelap tertutup awan mendung padahal hari masih petang. Cuaca begitu mencekam, tidak ada yang bersuara satu pun diantara mereka.

Malam ini, malam terakhir. Malam penentuan, apakah mereka bisa kembali ke dunia mereka, atau mati raga namun jiwa tetap hidup? Tersesat dan tak pernah bisa kembali, terjebak di tempat biadab akibat benang takdir yang mengikat mereka.

Angin semakin bertiup kencang, air hujan jatuh ke bumi berlomba-lomba membasahi apa pun yang ada di bawahnya. Namun tidak berlaku untuk sekelompok remaja itu, air hujan tidak mampu membasahi tubuh walaupun mereka tidak berlindung sekalipun. Seiring dengan tubuh mereka yang semakin memudar.

Mereka duduk melingkar di lapangan terbuka, di dalam lingkaran abu suci. Entah apa yang dilakukan Haris pada abu itu, untunglah air hujan ataupun angin kencang tidak bisa menghilangkannya. Sambil berpegangan tangan saling menguatkan, merapalkan doa. Mereka tahu, saat ini ada ratusan atau bahkan ribuan anak-anak iblis dan siluman menatap mereka. Bersembunyi, menunggu matahari terbenam seutuhnya. mengawasi tiap pergerakan mereka bersiap mengambil jiwa mereka kapan saja.

Hari ini mereka harus berhasil, HARUS.
Atau mereka akan terjebak selamanya dan mati.

"Bulan sudah terlihat." ucap Agnes, mendongakkan kepala ke atas.

Bulan bersinar sendirian dengan indahnya di langit yang gelap dari atas sana, seakan takut kalah tersaingi awan hitam tidak ada yang ingin berdekatan dengan sang rembulan. Hujan baru saja berhenti beberapa menit yang lalu.
"Sebentar lagi, waktunya tiba. Keluarkan cerminnya, Saras.” Randu memberi komando pada Saras yang membawa tas berisikan cermin.

Tanpa banyak bicara Saras mengeluarkan cermin berukuran sedang dari tas lusuh. Ia memegang erat cermin itu. Seakan itu harta paling berharga.

"Di-dia datang." Sharon berucap lirih, kala ia merasakan embusan angin yang membuat bulu kuduknya merinding.

Tepat setelah Sharon berucap suara tawa menggelegar menyapu pendengaran mereka. Nic menarik pedangnya, menggenggam nya erat, memperhatikan sekitar dengan tajam.
"Kalian menyambutku? Senang sekali rasanya."
Pria bertubuh jangkung, berpakaian serba hitam, berdiri tak jauh dari mereka.

"oh, waw. Melihat apa yang sedang kamu pegang dan abu sampah itu. Sepertinya Pak tua dan makhluk menjijikkan itu ikut campur urusan ku lagi. Hah... Merepotkan, seharusnya ku bunuh saja mereka." ucap Iblis itu, menatap pedang yang Nic pegang dengan tatapan tidak suka.

Tidak ada yang berbicara selain Iblis itu, mereka sedang menunggu waktu yang tepat. Mereka hanya punya satu kesempatan jika gagal, selesai sudah.

"Ini membosankan. Apa yang kalian lakukan? Hanya duduk diam? Ku pikir kalian akan melawan ku, ternyata kalian hanya diam seperti serangga yang ketakutan. Pantas saja 'dia' mati." Iblis itu tersenyum menyeringai, menekankan kata 'Dia' sengaja memancing amarah mereka.

"Jangan sebut dia dengan mulut kotor lo, brengsek!" Nic menggeram, menggertakkan giginya menahan amarah.

"Sayang sekali. Padahal dia jiwa yang sempurna untuk kebangkitan ku. Tapi dia mati dengan sia-sia untuk melindungi temannya. Manusia memang naif. Menjijikkan." Iblis itu tetap berbicara sesuka hatinya. Tidak memperdulikan Nic.

"Sepertinya kau sangat ingin menjadi manusia ya, tuan Iblis. Aku tahu ini bukan wujud mu. Tapi, kamu memakai wujud yang kamu sebut menjijikkan?" Sharon berujar untuk memancing agar Iblis itu menampakkan wujud yang sesungguhnya. Ia menatap Iblis di depannya seakan akan kotoran.

"Hahahaha. Jika ku perlihatkan wujud asli ku. Kalian akan pingsan. Bodoh."

"Pft. Benarkah? Bukan karena kau merasa malu dengan rupa mu yang buruk rupa?” sahut Saras. Perlahan, membalikkan cermin. Menghadapkan kaca ke arah depan.

"Jujur saja, saat kau menemui ku dalam bentuk mimpi dan membuatku terluka bertahun-tahun lalu, Itu wujud asli mu kan? saat itu kau memiliki bentuk gumpalan hitam menjijikkan, ew." Tanpa memberikan kesempatan Wraith bicara, Agnes menyahut,  menatap Wraith dengan tatapan jijik. Jujur saja sebenarnya ia takut. Tapi ia tidak ingin terlihat demikian di depan Iblis.

"HAHAHAHAHAHAHKKh. Lucu sekali. Jadi kalian ingin melihat wujud ku? Baiklah, akan ku kabulkan permintaan terakhir kalian."
Berhasil. Mereka berhasil memprovokasi Iblis bodoh itu. Sekarang, sebentar lagi. Maka benang itu akan terputus.

Nic semakin erat menggenggam pedang di tangannya. Perlahan Saras mengarahkan cermin ke arah Iblis yang berjarak beberapa meter dari mereka.

Ctek.
Dengan sekali jentikkan Iblis itu merubah bentuknya. Pria bertubuh jangkung dengan rambut panjang sepinggang dan berjubah hitam sudah tidak ada, terganti dengan makhluk bermata merah, berkuku tajam, bertanduk panjang meliuk, tubuh besarnya berwarna hitam berlendir dengan jubah hitam, mengeluarkan bau busuk seperti bangkai.
"KHEHEHEHEEE ada apa dengan wajah kalian? Pucat sekali. Sudah ku bilang, jangan banyak lagak, bocah." Suara bak geraman hewan buas, menggaung diantara kesunyian.

"NIC SEKARANG!"
Sebelum rasa takut mulai mengusai dirinya, Saras berteriak ke arah Nic memerintahkan nya untuk menghancurkan cermin yang ia arahkan pada pandangan Iblis itu.

"BOCAH BRENGSEK!" Wraith menggeram marah. Ia melesat cepat ke arah Saras, mengulurkan tangannya hendak mencabik-cabik tubuh kelima anak yang telah mempermainkannya.

"MATI LO!" dengan sekali ayunan Nic mengarahkan pedang ke cermin yang memantulkan bayangan Iblis dengan mata merah menyalang menatap mereka marah.

Cermin itu hancur berkeping keping. Pecahan kaca berhamburan di tengah-tengah mereka.
Iblis itu tertawa kencang. Menertawakan kebodohan manusia di hadapannya. Kelima anak manusia itu menatap putus asa pada kaca yang telah tak berbentuk.
Bagaimana sekarang? Apa yang harus mereka lakukan? Apa mereka akan mati?
Kaca itu telah pecah, hancur sebelum Nic menghancurkan sendiri dengan pedang.

Bagaimana, Iblis itu melakukannya?” Randu berucap lirih, hampir berbisik. Kala melihat cermin itu hancur tanpa ada yang menyentuhnya. Siapa lagi yang bisa melakukan itu, selain iblis di hadapannya yang sedang tertawa nyaring, terbahak, di bawah sinar rembulan itu.


Serendipity Where stories live. Discover now