Bab 8: Raka (2)

17 5 0
                                    

flashback

"Aku tidak mengerti. Kalian yang membuat ku ada di dunia ini. Seberapa kerasnya pun aku berusaha, kalian tidak pernah bisa melihatnya. Bukan kehendak ku menjadi bodoh. Tapi kenapa aku yang di salahkan? Apa salahku?"

Raka berjalan tertatih keluar ruangan, meninggalkan Bulan yang menyesali perbuatannya.
Hari ini, semua emosi yang ia pendam sejak dulu ia keluarkan. Tapi kenapa ia tetap tidak merasa puas?

Raka membaringkan tubuhnya ke atas kasur, hari-hati. Ia Meringis, rasa empuknya kasur tidak membuat rasa sakit di tubuhnya menghilang, malah semakin menjadi-jadi.

Raka menghembuskan nafasnya kasar. Ia muak dengan dirinya yang bodoh, ia yang lemah, keluarganya, hidupnya. Ia muak dengan segalanya.

Raka terduduk, memandang cermin di depan kasur yang memantulkan bayangannya, Raka menatap seram ke arah luka-lukanya. Ia tidak tahu kalau luka yang di perolehnya separah ini.

Dulu, saat ia di pukuli seperti ini selalu ada Bik Suri. Pembantu di rumah mereka yang telah berumur kepala lima. Beliau sudah bekerja kepada keluarga Raka, sejak Raka kecil. Bik Suri selalu mengobatinya atau memeluk-melindungi dari amarah Ayahnya. Raka hanya punya dia di rumah ini.

Namun, beliau telah pergi untuk selamanya sejak satu bulan yang lalu, karena penyakit kronis yang di deritanya. Kini, Raka benar-benar sendirian. Tidak ada yang akan melindunginya.

Raka teringat pesan Bik Suri saat beliau pamit untuk pulang ke kampung tempat ia tinggal, sebelum ia pergi untuk selamanya.
Beliau mengatakan sambil memeluk erat Raka, seakan tahu bahwa itu akan menjadi pelukan terakhir mereka.
'Nduk jaga diri ya. Inget makan, jangan main komputer sampe malem. Kejar cita-cita kamu. Jangan menyerah, Bibik yakin kamu pasti bisa menjadi atlet lari seperti yang kamu impikan selama ini. Kalau kamu luka, segera obati. Sekecil apapun itu. Bibik minta maaf, ndak bisa meluk Raka lagi.' katanya.

Saat itu Raka hanya menertawakan ucapan Bik Suri karena menurutnya itu berlebihan. Ia berpikir toh Bik Suri juga nantinya akan kembali lagi.
Raka lupa, tidak ada yang tahu kapan seseorang akan pergi. Andai saja ia tahu itu hari terakhirnya bersama Bik Suri, ia akan memeluk Bik Suri lebih lama lagi dan mengucapkan terima kasih karena telah merawat dan menyayanginya selama ini.

Raka melangkahkan kakinya ke kotak P3K yang menempel di dinding. Tangannya bergerak mengambil obat dan alkohol yang ia perlukan. Sampai suara keras menghentikkan pergerakkannya. Ia terkesiap kaget.

Brak! Brak! Brak!
Jendela kamarnya terbuka dan tertutup seperti tertiup angin kencang. Raka yakin ia sudah mengunci jendela kamar sebelumnya.

Raka tidak menghiraukannya, kakinya berjalan ke atas kasur dengan tangan yang penuh. Ia terlalu lelah untuk sekedar mencari tahu sebab jendelanya terbuka. Mungkin ia lupa belum menguncinya, karena itu jendela tertiup angin, pikir Raka.

Dengan susah payah Raka mengobati luka di tubunya dengan perlahan, sesekali ia meringis pelan.

Tek.
Lampu kamar mati. Raka menghentikam kegiatannya. Apa listrik mati? pikirnya. Raka melangkah ke arah jendela yang terbuka tadi. Ia menengok ke luar. Lampu terasnya menyala, rumah tetangganya juga tidak gelap. Itu berarti hanya kamarnya yang mati.

Raka mencari-cari sakelar lampu di kegelapan. Namun belum saja Raka berhasil menemukannya, lampu kamar hidup dengan sendirinya. Raka menghela nafas lelah, mungkin lampu kamarnya korslet, pikirnya.

Baru saja Raka mendudukkan dirinya di atas kasur, Raka dikejutkan dengan suara seseorang.

"Pft, manusia memang lemah." Raka terlonjak mendengar suara itu.
Ia membalikkan badannya ke arah sumber suara.

Serendipity حيث تعيش القصص. اكتشف الآن