Bab 7: Raka (1)

19 3 1
                                    

"B-bela-kang." ucap Randu susah payah, dengan suara yang gemetar, tergagap.

Serentak mereka menengok ke arah yang Randu tunjuk. Mereka tercekat. Tubuh mereka gemetar ketakutan. Mereka membeku.

Sosok itu. Bermata merah menyala dengan kuku tajam. Sosok, yang pernah dilihat Agnes dan Raka.

Ia tersenyum, menyeringai menunjukkan giginya yang berupa taring.

Raka mendongak melihat sosok di belakang nya yang tingginya hampir menyentuh langit-langit villa. Matanya bertemu dengan mata merah menyala sosok itu. Tubuhnya gemetar. Teman-temannya mulai berlarian, menyelamatkan diri dari iblis di hadapannya. Sedangkan ia masih terpaku diam, ia tidak bisa berdiri. Tubuhnya saja bahkan tidak ada yang bisa ia gerakkan.

Raka menelisik iblis di hadapan nya. Mata merah, kuku dan gigi yang tajam, jubah hitam panjang yang menutupi kepala hingga bawah.
Benar itu dia! Raka yakin dia makhluk yang sama, yang menemuinya dulu.

Iblis itu tersenyum menatap Raka, mulutnya tertarik hingga telinga, terlihat seperti sobek.

flashback

"APA INI!" suara menggelegar penuh amarah, bergaung di seisi ruang kerja bercat abu-abu.
Sang pemilik suara melempar rapor berwarna biru tua ke wajah anaknya yang sedari tadi menunduk.

"APA-APAN INI RAKA?! LIHAT NILAI-NILAI MU!"

"APA YANG HARUS AYAH KATAKAN PADA KERABAT-KERABAT KITA!"

"AKU BERUSAHA KERAS BEKERJA DEMI ANAK SEPERTIMU! MENYEKOLAHKAN MU AGAR KAU BISA SUKSES! BUKAN MENJADI ANAK BODOH SEPERTI INI!"

"Lihat kakak-kakak mu yang lain, mereka selalu mendapat peringkat pertama paralel! Sedangkan kau, bahkan untuk mendapatkan ranking pertama di satu kelas saja Raka, DI SATU KELAS SAJA, KAU TIDAK BISA MENDAPATKAN PERINGKAT SATU? SEBODOH APA KAMU?"

"AYAH MALU MEMILIKI ANAK SEPERTI MU!"

"Apa ayah mempunyai anak hanya sebagai ajang pamer?" Raka berucap dengan pelan.

"Apa?" tanya Reno, Ayah Raka. Memastikan pendengarannya.

"Apa aku dilahirkan hanya sebagai alat untuk kalian? Apa ayah pernah peduli padaku? Ayah hanya peduli pada kakak terlepas apa yang kulakukan!" nada suara Raka naik tiga oktaf. Matanya menatap nyalang ayahnya.

"Jaga ucapanmu." Reno menggeram. Tangannya terkepal kuat, menahan, agar tidak memukul anaknya.

Raka tertawa sarkas. "Aku tidak pernah ingin menjadi bodoh, aku tidak pernah ingin memalukan kalian! Haha apa tadi ayah bilang? Demi anak seperti ku? Ayah seperti ini demi aku?"

"Sungguh yah? Jangan bercanda. Kau melakukan ini semua untuk diri mu sendiri, untuk harga diri mu! KAU TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN KU! KAU HANYA MEMIKIRKAN PANDANGAN ORANG-ORANG DI LUAR SANA! KAU HANYA INGIN DI PANDANG SEBAGAI KEPALA KELUARGA YANG SEMPURNA!
Apa peduli ku tentang kerabat? Ini hidupku! AKU BERSEKOLAH BUKAN UNTUK MENGHIBUR KERABAT KITA!"

"RAKA!"

PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Raka.

"BERANI SEKALI KAU MENGATAKAN ITU PADA AYAHMU!"

Raka memegang pipi kirinya yang memerah bekas tamparan. "Kau malu karenaku? Sungguh, aku sangat ingin keluar dari neraka ini, rumah ini. Aku punya impian ku sendiri Ayah!"

"Apa ayah tahu, aku memenangkan medali emas untuk lomba lari?" lanjutnya, matanya memerah menahan tangis. Selama ini ia selalu menuruti ucapan kedua orang tuanya, ia hanya diam ketika orang tuanya membandingkan dirinya dengan kakak-kakaknya, ketika Reno memukulnya karena nilainya jelek, ketika Ibunya mengurung ia di kamar, ia selalu diam. Tapi tidak kali ini, ia lelah. Ia lelah karena orang tuanya tidak pernah melihat usahanya.

Serendipity Where stories live. Discover now