13/ RAHASIA

13 3 0
                                    

-Happy Reading-

💐

"Sampai kapan lo akan ganggu hidup gue hah?!" Habis sudah kesabarannya jika terus dihadapkan dengan seseorang yang telah membuatnya kehilangan orang paling berharga dalam hidupnya.

"Tapi aku nggak sengaja." Air matanya pun sudah tidak sanggup ditahan.

"Nggak usah nangis lo!" Ia mendesah berat, orang yang sebelumnya tidak pernah dibuatnya menangis kini seringkali ia buat menangis.

Gadis kecil itu masih terus menangis sesenggukan. Ia teringat masa-masa indahnya bersama keluarga, tetapi karena kejadian itu semua orang pun mulai membencinya.

"Percaya sama aku, bukan aku yang buat mereka pergi," gumamnya seraya mencoba meyakinkan orang itu.

Ia menatap tajam ke arahnya, berani-beraninya gadis itu masih pura-pura baik dihadapannya.

"Jangan pernah lo sebut apapun tentang mereka! Dan ... mulai sekarang jangan pernah perlihatkan batang hidung lo dihadapan gue!" Ia pun berlalu pergi.

Gadis kecil yang malang. Ia hanya bisa meratapi punggung sang kakak yang sudah mulai menjauh. Sampai kapan rahasia ini ia simpan sendirian?

"Bukan aku, Kak Farez," lirihnya.

*****

Farez mengambil kunci motornya. Ia tidak tahan di rumah karena ada seseorang yang ia anggap benalu. Semua kejadian pahit seolah kembali ditayangkan dalam pikirannya, ia tetap berpikir bahwa adiknya sendiri yang telah menyebabkan kematian orang tuanya.

"Sialan!" umpat Farez sebelum menjalankan motornya.

Lima tahun sudah dirinya mulai menutup diri, sering menyakiti orang lain sebagai pelampiasan. Baginya, selagi ia tidak bahagia maka orang lain tidak boleh bahagia. Apapun itu, jika ada yang berani mengusiknya ia tidak tanggung-tanggung akan menghancurkan hidup orang itu. Termasuk ... orang-orang terdekatnya sendiri.

Jalanan sepi memang pas untuk kebut-kebutan. Lampu penerangan yang tidak terlalu banyak, menambah kesan kesunyian. Andai saja hatinya yang gelap mulai mengizinkan lampu kecil untuk menerangi, sayangnya ia sudah menutup pintu agar lampu itu tidak menyala di hatinya.

Kenangan itu kembali berputar. Wajah ayahnya yang selalu bahagia, wajah ibunya yang selalu ramah seolah menjadi senjata untuk melemahkannya. Ditambah wajah seorang adik yang ia anggap sialan.

"Lo bukan adik gue, Nabila!"

Entah harus bagaimana lagi, Farez menangis. Adik kecil yang tidak pernah ia biarkan menangis kini malah dirinya sendiri yang sering membuatnya menangis. Ditambah lagi tentang dirinya yang keras semakin menambah sakit di hati dan fisik Nabila.

Kalo lupa baca ulang di part 9 bagian akhir, ya.

Ia menghentikan motornya di sebuah pemakaman sepi yang jauh dari kota. Sengaja ... ia ingin melupakan segala kenangan manis dan pahit tentang kedua orang tuanya. Meski itu sulit, karena nyatanya kehadiran Nabila masih membuatnya tidak terima akan kejadian naas itu.

Sarah Alina binti Rahman

Reza Malvino bin Salim

Kakinya lemas membaca nama itu. Kedua nama yang membuatnya dilahirkan ke dunia ini. Tapi apalah artinya hidup, jika tidak ada kebahagiaan di dalamnya.

"Mah ... Pah ..., Kakak kangen sama kalian," rengeknya sambil memeluk nisan sang Ayah.

"Ini semua gara-gara si anak sialan itu 'kan?" lanjutnya meski ia ragu dengan ucapannya.

Ia menangis dalam diam. Bayangan saat ia dan Nabila disuapi es krim rasa permen karet favorit mereka, suapan yang begitu lembut dari tangan Sarah—ibu mereka.

Laki-laki bisa menangis. Apalagi menyangkut orang-orang yang disayang. Sesak rasanya ketika ia harus melewati ini sendirian. Tanpa di sadari, ada seorang gadis kecil yang harus menguatkan punggungnya dua kali lipat. Seorang anak yang harusnya dipeluk dan diperhatikan, tapi ia harus merasakan rasanya diacuhkan—oleh orang-orang tersayang. Intinya mereka sama-sama menjalani hari yang berat, ditambah lagi keduanya tidak saling mendukung satu sama lain. 

"Mamah pernah bilang sama kakak, kakak harus sayang sama Nabila 'kan?"

"Tapi semakin kakak mencoba menyayangi Nabila, kakak semakin sakit hati, Mah."

"Nabila yang udah buat kakak kehilangan kalian," ucapnya sendu.

Merasa gagal menjadi anak, merasa gagal menjadi seorang kakak. Tunggu ... tidak ada lagi seorang adik dalam hidupnya. Meski hati dan pikirannya menolak keras akan hal itu. Egonya terlalu besar hingga mata hatinya tidak bisa melihat hal yang sebenarnya.

Sudah cukup ia menangis. Saatnya menghapus air mata dan kembali menjadi orang yang tidak berperasaan. Lebih tepatnya, ia sedang memaksa diri untuk menjadi orang yang mati rasa. Padahal masih ada belas kasih dalam hatinya, sudah dibilang egois ya sudah.

"Cengeng, lu," ucap laki-laki yang entah sejak kapan ada di belakangnya.

Ia melirik sekilas dan berbalik. "Jangan ikut campur, Angkasa."

Farez memilih untuk pergi daripada harus mendengar ceramah dari Angkasa. Laki-laki yang selalu saja mengusik hari-harinya. Ia harus pulang, meski ada seseorang yang tidak lagi ia harapkan akan menunggunya di rumah.

*****

-Thanks-

Four Days With You! (SLOW UPDATE)Место, где живут истории. Откройте их для себя