Alih-alih menjawab, Saddam membawa tungkainya turun dari ranjang besar, mendekati temannya yang masih terlelap di atas kasur lipat. Ditendangnya kaki milik Asun tanpa iba, membuat sang empu jatuh dari kasur itu.

"Kejam banget sih nih anak. Enggak berperikemanusiaan, seriusan," omel Asun sembari melempar bantal ke arah Saddam yang berdiri dengan berkacak pinggang.

"Salah sendiri kebo banget. Masa enggak denger teriakan Umi tadi. Nih kuping aja udah budeg setengah urip." Tanpa ingin mendengar jawaban dari Asun, atensi Saddam tertuju pada sahabat bungsunya yang terlelap dengan damai. Bahkan kekacauan yang dibuatnya bersama Asun tadi tidak membuat anak itu terusik sama sekali.

"Enggak pingsan, 'kan?" tanya Asun lantas dibalas dengan gelengan dari Saddam. "Adem banget kalau lagi tidur. Jadi enggak tega, Dam, banguninnya. Jangan dibangunin deh."

Perkataan dari Asun membuat si tertua melotot. "Ditunggu sama Umi Abi di bawah. Diajak subuhan bareng. Tak gugah kene wes. Mencak-mencak juga ntar kalau Subuhannya telat."

Tidak ada lagi suara, Asun pun hanya mengangguk, mendahului pergi ke kamar mandi untuk sekadar cuci muka dan mengambil air wudu. Membiarkan kawan tertua melanjutkan kegiatan membangunkan si bungsu. Saddam berjongkok menghadap wajah damai Asa. Mengusap surai legam milik anak itu dengan lembut, lantas menyelasar ke area keningnya.

"Pantesan damai banget. Panas gini," gumamnya lirih. "Sa, bangun, Sa."

Setengah tak tega, Saddam menepuk pipi tirus Asa dengan pelan. Namun, tak kunjung ada pergerakan.

"Dek ...." Saddam mulai khawatir, takut jika yang yang dikatakan oleh Asun benar. Sampai beberapa detik usahanya membuahkan hasil. Kelopak mata Asa terbuka perlahan, sebelum akhirnya memejam lagi dengan kerutan tercetak jelas di dahinya.

"Udah Subuh?" tanya Asa.

"Udah. Mau ikut subuhan bareng apa di sini aja? Kalau mau di sini, enggak apa-apa. Nanti habis subuhan tak anter balik. Enggak usah sekolah dulu," jawab Saddam lalu membantu si bungsu bangkit.

"Mau jamaah aja."

"Beneran? Kok panas lagi, Sa. Tahu gitu semalam enggak usah pulang deh."

Nada khawatir Asa tangkap, tetapi tak diindahkan olehnya. "Udah biasa juga. Aku enggak apa-apa kok. Maaf jadi ngerepotin."

"Enggaklah. Udah, yuk, langsung ke bawah! Kayaknya Asun lagi setoran deh. Ntar lama, kita wudu di bawah aja," ajak Saddam mengalihkan pembicaraan.

Anggukan kecil Asa berikan, kemudian bangkit dan mengekor di belakang tubuh Saddam tanpa ingin memberikan jawaban. Sederhananya, Asa sedang ingin salat berjamaah bersama. Apalagi di sini, orang tua Saddam sedang lengkap formasinya. Begitu mendengar ajakan tersebut, maka tak ada penolakan yang Asa utarakan. Menepis rasa sakit di tubuhnya.

Subuh terasa semakin damai. Beribu andai kembali tersemat dalam benak kecil Asa. Berpikir jika ada Ayah di barisan imam, lalu ada kedua kakaknya yang selaras dengan barisannya. Di barisan paling belakang pun ada Mama yang menjadi pelengkap. Sudah pasti akan membuat Asa girang bukan kepalang. Namun, itu sebatas mimpi belaka yang tidak akan tahu kapan terwujudnya.

"Asa gimana? Udah enakan? Kalau belum di sini aja sama Umi, biar ada yang jagain. Daripada kamu pulang nanti malah diamuk lagi sama Mbak Lia. Ya, Nak?"

Katakan Asa [Open PO]Where stories live. Discover now