5. Kata Takdir

941 148 64
                                    

Dikira ucapan Saddam sebuah dusta, nyatanya Asa telah berdiri di sebuah gedung yang menjadi ladang benci selama ini. Tepat di depan ruang putih bernuansa obat-obatan, seorang lelaki berbaju putih menurunkan masker. Di tangan lelaki tersebut ada beberapa lembar kertas yang tidak mereka ketahui isinya apa.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Lelaki yang diketahui sebagai perawat tersebut tersenyum simpul.

"Iya, Pak. Ini Adik saya jatuh semalam, tapi lukanya belum dibersihkan. Lumayan parah, saya takut ada apa-apa nanti." Setengah senyum memaksa, Saddam mengulang singkat kronologi kejadian yang sempat Asa ungkap di mobil tadi.

"Sebentar. Saya cek dulu, ya, Dek ..." Perawat lelaki itu kemudian mendekatkan diri ke arah Asa setelah meletakkan lembaran kertasnya di kursi tunggu. "Maaf ya, Dek."

Perkataan perawat itu hanya dibalas oleh anggukan kecil oleh Asa. Setengahnya ia meringis ketika perawat itu menyingkap beberapa helai rambut yang menutupi dahinya. Sengaja Asa lakukan agar menutupi lukanya, malah ketahuan.

"Astaghfirullah. Lumayan dalam loh ini robeknya, sakit banget pasti, ya? Panggil Abang aja. Saya masih muda kok. Ikut, yuk, ke dalam! Biar diobatin. Mungkin agak lama kalau seumpama adiknya butuh jahitan. Kok enggak langsung diobati sih, Dek?"

Dengan ragu akhirnya Asa pun menata setiap kata yang akan ia keluarkan. "Em, enggak tahu. Saya kira juga enggak apa-apa. Semalam langsung saya bawa tidur aja."

"Jatuh kena apa? Enggak mungkin kalau kepentok sesuatu doang. Ini ada bengkak merah melepuh dikit, enggak mungkin kalau cuma kepentok meja atau benda tajam doang. Kayaknya kesiram air panas atau ...."

Dengan cepat Asa menggeleng. "Enggak. Kena ujung meja doang kok, Bang."

"Apapun alasannya, yang namanya luka kalau enggak diobati bakal melebar ke mana-mana. Luka kecil bisa jadi masalah besar, jangan disepelekan lagi, ya?"

Perawat itu menangkup wajah Asa dan mengamati lekat setiap lekuk wajah lelaki berwajah imut itu.  Lagi-lagi Asa hanya mengangguk kecil.

"Salah satu dari kalian bisa ke loket pendaftaran, ini Adiknya langsung ditangani ke dalam. Salah satunya bisa ikut menemani, takut kalau pasien kabur nanti."

Ucapan perawat tersebut membuat ketiga pemuda berbaju yang sama pun terkekeh kecil. "Sun, ke depan sana. Tak nemenin Asa, lek ucul medeni."

Di tempatnya berdiri, Asa berdecak kesal. Kalau bisa ia memukul Saddam di tempat. Mengingat ini adalah klinik kesehatan, Asa pun tak ingin membuat keributan di pagi harinya. Setelah Asun berpamitan menuju tempat yang disebut oleh perawat tadi, Asa pun digiring menuju ruangan bernuansa putih. Di sana sudah ada seorang lelaki dengan jas putih yang terlihat gagah.

"Eh, masuk, Zam. Masih pagi banget udah ada pasien aja, alhamdulilah deh," ucap lelaki itu. "Siapa namanya? Keluhannya apa?"

"Iya, Pak. Namanya Asa. Kepalanya kena meja semalam katanya, tapi enggak diobatin." Bukan Asa maupun Saddam, melainkan perawat lelaki yang memiliki nama Azzam tadi.

Baru akan menyuarakan suara, tubuh Asa sudah didorong oleh Azzam untuk duduk di kursi yang tersedia. Tatapan tajam yang diberikan oleh Saddam pun membuatnya bergidik ngeri.

"Angel men noto cah cilik," geram Saddam melirik ke arah Asa.

"Sabar, Mas. Mungkin adiknya takut enggak pernah masuk ke puskesmas atau klinik seperti ini. Jadi, kagok ya?"

Sedangkan di tempat, Asa memutar bola matanya jengah. "Mana ada, Bang. Mereka aja yang lebay. Orang Asa enggak apa-apa."

"Coba lihat lukanya mana?" Buru-buru dokter tampan itu menengahi keributan kecil di hadapannya.

Katakan Asa [Open PO]Where stories live. Discover now