10. Ruang Lain

788 135 26
                                    

"Sumpa, ya. Enggak ada otak pake banget. Ngapain sih, ha?"

Ujaran tanya penuh penekanan, Asa jawab dengan senyum tipis. Temannya itu tidak berhenti memberikan pertanyaan yang sama diiringi dengan beberapa umpatan. Sedangkan sang empu hanya duduk bersandar di sofa dengan setengah mata yang terpejam.

"Kalau mau bunuh diri itu menisan ndek rel kereta api. Atau dari gedung pencakar langit sekalian. Coba aja enggak ada Saddam tadi, udah mampus kira-kira kowe," lanjut Asun lagi. "Denger lagi ngomong enggak sih, Sa?"

"Hm."

Kelopak mata Asa terbuka lebar, mendapati temannya sedang berkacak pinggang di depannya dengan muka garang. Seperti singa yang sedang kelaparan.

"Jangan ribut. Enggak enak sama Mami," lerai Saddam. Pemuda lebih dewasa itu hanya menghela napas berat dan mengambil tempat duduk di sebelah Asa. "Udah enakan?"

Pertanyaan singkat dari Saddam hanya diangguki kecil oleh Asa. "Makasih."

"Bener yang dikata Asun. Lain kali cari yang lebih mapan. Biar tak siapin rumah masa depan gawe awakmu."

Hampir saja Asa akan menggeplak kepala Saddam jika tidak ada kedatangan seorang wanita paruh baya yang membawa nampan berisi makanan.

"Dimakan supnya, Nak. Mumpung masih hangat. Adek gimana, udah enakan?" Wanita tersebut meletakkan mangkuk sup di atas meja dan menyodorkan kepada ketiganya.

"Emang aku kenapa?" tanya Asa lirih membuat Asun menggeram di tempat.

"Untung temen. Coba bukan. Tak tenggelamin di lautan."

Wanita tadi mendekatkan diri dan berjongkok di depan Asa. Meletakkan punggung tangannya di dahi pemuda tersebut.

"Masih panas gini, nginep sini aja ya,? Di luar masih hujan juga. Mami siapin kamar buat kalian bertiga, ya?"

Di tempatnya duduk, Asa menggeleng ribut. "Enggak deh, Mi. Asa pulang aja. Tapi nunggu hujannya berhenti dulu."

"Iya, tahu. Tapi, udara malam enggak bagus buat kamu," jawab Mami cepat. "Nginep sini, ya? Lagi pula, semenjak masuk MAN kalian jadi jarang nginep di sini loh. Hampir setiap hari adik-adik di sini pada nanyain kalian bertiga kapan nginap lagi, enggak kangen emang?"

"Ya, bukan gitu, Mi. Kapan-kapan deh, Asa janji sama Mami bakalan nginep di sini. Seriusan, tapi Asa cuma pengen sambang anak-anak doang. Enggak ada niatan nginep. Lagian mereka berdua juga ntar gimana kalau dicariin orang tuanya," jawab Asa meyakinkan seraya menunjuk kedua temannya dengan dagu. "Kalau Asa mah enggak perlu izin pun pergi malah bagus."

"Lambemu gurung tau ditapok swallowku, pie, Sa?" Asun sudah ancang-ancang melepas sandalnya dan segera melemparnya.

"Sini, tabok!" tantang Asa.

Ketiga orang tersebut hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Asun dan juga Asa yang mirip dengan tokoh kartun tikus dan kucing yang sedang bertengkar.

"Asa biar nginep di rumahnya Adam aja, Mi. Lagian ini Umi juga udah chat suruh bawa pulang si Bocil kalau perlu nanti Adam rantai sekalian."

Tatapan sengit Asa berikan pada Saddam yang duduk di sebelahnya. Lantas menginjak kaki pemuda yang berusia satu tahun lebih tua darinya tanpa belas kasihan.

"Matahari, bulan, bintang," umpat Saddam di tempat. Asa pun tersenyum puas.

"Kalau gitu, supnya dihabisin. Mami mau lihat anak-anak makan malam sebentar," pamit wanita tersebut dengan lembut. Mengusap surai hitam Asa dengan lembut. "Sehat terus, Dek."

Katakan Asa [Open PO]Where stories live. Discover now