14. Mimpi Damai

747 132 28
                                    

Malam itu, Asa benar-benar menginap di rumah Saddam. Melepas penat dengan kedua temannya, walau sempat disodori banyak pertanyaan oleh kedua orang tua sahabat tertuanya. Pasalnya, kedua orang tua Saddam sedang berada di rumah dan akhirnya ia pun buka suara.

Meski dengan berat, Asa pun tiada berbohong untuk bercerita mengapa ia bisa tumbang. Dalam hati, Asa benar-benar mengutuk dirinya jika salah berbicara. Pemuda itu tak mau jika kesalahan yang sama dan akan ditimpakan pada orang lain.

Maka seperti di sepertiga malam yang masih terlalu pagi buta bagi mereka yang tiada pernah melakukan tiga rakaat sunnah, Asa terbangun. Menatap kedua sahabatnya yang masih damai dalam lelapnya. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan nyawa pada tempatnya, sebelum bangkit menuju kamar mandi. Tiga menit kemudian, langkah kakinya kembali dengan wajah yang cukup segar usai berwudu.

Diraihnya sajadah di atas kursi meja milik Saddam, lantas digelar dengan cepat. Selagi hatinya mengucap niat, kedua tangan Asa mengambil posisi takbiratul ihram. Sampai beberapa saat pemuda itu hanyut dalam lingkup manusia dengan Illahi.

"As-salamu'alaikum wa rahmatullah," salam Asa menoleh ke arah kanan.

"As-salamu'alaikum wa rahmatullah," lanjutnya ke arah kiri.

Sejenak, Asa berdiam di tempat duduknya. Menatap lurus ke depan dengan tatapan yang sulit diartikan. Jam di dinding masih menunjukkan pukul setengah tiga kurang dua belas menit, setelah semalam ia bisa terlelap pada pukul setengah satu kurang tiga menit. Itu pun berkat celoteh Asun yang tidak terlalu penting dan membuatnya bosan kemudian berakhir memejamkan mata.

Beberapa menit, Asa habiskan dengan lamunan yang entah berisikan apa. Begitu dirasa cukup lama, mulut Asa bergumam lirih. Melafal zikir yang dihafalnya, lantas menengadahkan kedua tangan 'tuk melafalkan doa.

"Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil 'alamin. Ya Allah, Asa tidak meminta banyak kepada-Mu. Asa hanya meminta semoga Asa bisa menjalani kehidupan ini tanpa mendahului kuasa-Mu. Kuatkan hati hamba, dan mudahkanlah setiap jalan yang ada di depan mata. Rabbighfirli dzunubii waliwa lidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Rabbana atina fid dunya khasanah wafil a khirati kasanah waqina adza bannar."

Dirasa sudut matanya kembali berair, Asa mengusaknya segera. Lantas merapikan sajadah dan meletakkan kembali pada tempatnya. Dibawa tungkai kakinya ke arah jendela yang masih tertutup tirainya, lantas ia buka sedikit hingga memperlihatkan suasana malam di Kediri yang tengah sepi.

Embusan napas berat menguar, menjadi pemecah hening di ruangan berukuran empat kali empat setengah meter tersebut. Tidak sampai lima menit berdiri, Asa menutup kembali tirai jendela, bergegas membaringkan tubuhnya di sebelah sahabat tertua. Menatak sejenak sebelum memunggunginya. Kembali pada alamnya sendiri untuk menyalami mimpi. Berharap ekspetasi yang dibangunnya tinggi-tinggi, tiada pernah menemukan kehancurannya untuk waktu yang akan datang.

***

"Abang! Bangun! Udah subuh loh!"

Ketukan pintu nan brutal serta teriakan seorang wanita melengking, membuat pejamnya seorang Saddam Nur Yahya terganggu.

"Nggih, Umi. Abang udah bangun kok. Ini mau bangunin Asa sama Asun," jawab Saddam setengah berteriak.

"Umi tungguin di musala sama Abi. Kita Subuhan bareng," teriak Umi lagi.

Katakan Asa [Open PO]Where stories live. Discover now