[°• ENAM PULUH DUA °•]

182 15 0
                                    

Wanita itu mendongak untuk melihat jam dinding yang ada di kamarnya. Ia mendesah lalu menutup lagi pintu kamar perlahan agar suaminya tidak terbangun. Mungkin sudah sekitar setengah jam ia berjalan bolak-balik di lantai dua rumahnya.

Ia tidak bisa tidur. Anaknya bergerak begitu aktif entah kenapa. Ini pukul dua dini hari dan ia sudah kelelahan. Setiap ia mencoba untuk duduk atau rebahan, kaki anaknya seakan menendang paru-paru hingga ia kesulitan bernapas.

"Jangan kaya gini, Ko. Bunda ga bisa tidur," gumamnya pelan. Mungkin baru kali ini ia merasa jengkel, sebab kantuknya luar biasa tapi anaknya melarang Ire, bahkan hanya untuk rebahan.

Saat ia mengelus perutnya, tiba-tiba ia merasakan ada sedikit gelombang yang membuatnya langsung berpegangan pada rilling lantai duanya.

"Iya, iya," lenguhnya, "kita jalan lagi, yuk."

Ire berdiri, ia kembali berjalan pelan-pelan di sepanjang blok depan kamar lantai dua. Sesekali menengok ke kamar Bu Iis yang dipakai Ibu dan Bapak, sepi sekali.

"Bentar, Ko, sebentar," Ire meremas bagian bawah gamisnya saat gelombang itu datang lagi. Ia mulai berkeringat dan menggigit bibirnya. Ini bukan kram, ini seperti mulas dan ia terpaksa harus sedikit menekuk.

Sekitar dua menit, ia kembali normal, hanya merasakan kram-kram sepeti kalau ia bergerak tiba-tiba. Ire masuk ke kamar, berjalan ke kamar mandi saat untuk bersih-bersih. Kalau sudah bangun jam segini, lebih baik ia dengar murottal sampai pagi, sambil nanti lanjut jalan.

Pintu kamar mandi terbuka lima menit kemudian, Ire berjalan ke ranjang sambil dilema untuk membangunkan Habib atau tidak. Dengan hati-hati ia duduk di ranjang, menyelipkan bantal diantara tubuhnya dan sandaran ranjang, serta melorotkan duduknya karena tendangan si jabang bayi kembali membuatnya mulas.

"Bang," panggilnya, ia mengguncang pelan Habib yang masih terpejam sambil berbantal kedua tangan. Lelaki itu menghadap ke arahnya dan menggerakkan alis tanda terganggu tidurnya.

"Hmm," jawabnya tanpa membuka mata sama sekali.

"Ire flek," katanya.

Habib masih tak bergeming, "ya nanti beli krim malam," jawabnya. Habib menggulingkan badannya, sekarang ia merebahkan tepat menghadap langit-langit kamar.

Ire menepuk jidat, kenapa ia tidak kepikiran kalau Habib tidak paham 'flek' yang ia maksud?

"Bang, tadi pas pipis, celana dalam Ire ada darahnya," jelasnya lagi, entah Habib mendengarnya secara utuh atau tidak.

Habib dengar. Lelaki itu membuka matanya dan menengok ke istrinya. Ia mengucek mata lalu menegakkan tubuh, membuatnya sejajar dengan Ire.

"K-kog gitu?" tanyanya panik, ia memegang perut Ire dan mulai peka kalau wanitanya tengah menahan mulas.

"Gatau, Koko juga nendang terus daritadi, Ire ga bisa tidur," wanita itu mengubah posisi duduknya, lagi-lagi mulasnya datang.

"Sakit gak? Kram?"

"Mules, tapi berkala gitu," jelasnya.

Lelaki itu melotot, ia beralih ke jam dinding lalu mengusap wajah yang masih mengantuk, "Jam dua lebih, mau ke rumah sakit jam segini?"

"Enggak, ga usah," tolak istrinya, "paling ini cuma ...," Ire menarik napas, anaknya menendang lagi dan kali ini begitu keras.

"Abang panggil Ibu dulu, ya?" Habib turun dari ranjang, keluar kamar. Meninggalkan Ire yang langsung bersandar sambil terus menerus mengelus perutnya.

Ia mulai membayangkan keadaannya. Semuanya. Mulai dari kram biasa, sampai terlepasnya plasenta anak ini. Kenapa ia tidak becus menjaga dia bahkan saat anak ini masih ada di tubuhnya?

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang