•°| PROLOG |°•

523 51 28
                                    


Dapur nampak amat lenggang saat tidak ada wanita itu disana. Habib mengernyit, lelaki yang masih dengan seragam bola itu celingak-celinguk mencari istrinya. Ia melirik jam dinding berbentuk kotak berwarna putih yang ada di dapur, biasanya jam segini Ire ada di sini. Wanita itu harus masak makan siang, kecuali ketika sedang keluar kota, barulah Bu Iis yang mengurus segala keperluan Habib.

"Bang Habib sudah pulang?" tanya seorang wanita dengan postur pendek dan agak gempal yang tiba-tiba datang dan berdiri di belakang Habib.

Namanya Bu Iis, beliau adalah saudara jauh dari Habib. Anak dari adiknya kakek Habib, kira-kira begitu. Suami Bu Iis meninggal sekitar dua tahun lalu sedangkan anak lelakinya tinggal di Singapura bersama sang istri. Habib dan Ire, keduanya sepakat untuk mengajak Bu Iis tinggal disini. Selain untuk bantu-bantu urusan rumah tangga, Bu Iis juga sangat menyayangi Ire dan Habib seperti anak sendiri.

"Eh, Bu!" Habib balik badan, lalu salim pada si wanita paruh baya. "Ire mana, Bu?"

Wanita yang ditanya nampak mengingat informasi di kepalanya. "Oh, kayanya di kamar, Bang."

Lelaki itu mengernyit. "Tidur siang? Tumben, bukannya dia biasanya masak, yah?"

Habib tidak bermaksud menanyakan hal itu pada Bu Iis, sebenarnya. Ia hanya ingin bermonolog, tapi mungkin terlalu keras sampai Bu Iis menjawabnya.

"Tadi itu masak, Bang. Terus ngecek hape, eh, langsung ke kamar. Itu cah kangkung sama gurame gorengnya Ibu yang lanjutkan masak."

Penjelasan yang dilontarkan Bu Iis makin membuat si gelandang sayap timnas senior mengernyit bingung. Ia segera undur diri ke kamar, menemui istrinya.

Begitu pintu kamar di buka, ia melihat seorang wanita tengah duduk di ranjang sambil memegangi kalender kecil yang biasanya ada di nakas. Wanita dengan kerudung bergo menutup dada berwarna pink itu menyuguhkan wajah cemas.

"Re," panggil Habib seraya menutup pintu.

Ire mendongak, matanya terlihat kaget karena suaminya itu sudah pulang dan menghampiri ke kamar. Ia menaruh kalender kecil itu di nakas lalu tersenyum singkat.

"Bang," sahutnya lembut sembari meraih tangan Habib untuk salim.

"Tumben di kamar, biasanya masih masak atau ngerjain tulisan di ruang tamu."

Ire menunduk, ia membenamkan bibirnya dan duduk lagi di ranjang. Matanya sayu dan pikirannya melayang tak karuan.

"Ada apa, sih?" tanya Habib, ia ingin duduk di samping Ire tapi sadar bahwa keringat di sekujur tubuhnya, walau sudah kering, tetap saja membuat kasur itu kotor.

"Minggu depan itu tepat delapan bulan kita nikah ya, Bang?" tanya Ire balik, matanya menatap sang suami.

Lelaki yang ditanya mengangguk ragu, ia tak begitu ingat. Ia tak pernah menghitung atau mengingat berapa lama sudah mereka menikah. Menurutnya, itu tidak terlalu penting. Sebentar atau lama, Ire tetap membuatnya bahagia.

"Abang lupa?" Ire membaca keraguan sang suami, membuat Habib menggaruk tengkuknya.

"Maaf. Abang ga pernah ngitung sama sekali. Emang kenapa?"

Wanita itu tidak menjawab, ia meraih ponselnya lalu membuka postingan terakhir di Instagram miliknya. Bukan soal foto promosi seminar yang akan diisinya Minggu depan, tapi soal komentar netizen yang sama sekali gak nyambung sama foto itu.

"Baca, Bang," pintanya sambil menyodorkan ponsel.

Habib menautkan alis tipisnya, lalu membaca komentar yang dimaksud oleh sang istri.

Udah lama nikah, kog ga hamil, Mbak? Mandul, ya?

Waduh, cantik doank ga bisa ngasih anak. Hati-hati Mas Habib poligami.

Jangan terlalu sibuk kerja, Cantik. Nanti susah hamil, loh.

Baru tiga komentar teratas, Habib sudah menggeleng dengan rahang mengeras. Ia menaruh ponsel sang istri di nakas lalu melihat ke arah Ire yang tertunduk.

"Block aja," saran Habib singkat.

Wanita itu mendongak. "Tapi Ire kepikiran, Bang."

Jawaban itu membuat pria yang rambutnya cukup tebal dan panjang itu mendesah. Ia juga sering mendapat komentar begitu dari netizen nyinyir yang sok tahu kehidupannya. Hatinya juga sakit, tapi ia bisa membayangkan betapa sedihnya kalau komentar itu di baca sang istri.

"Kepikiran gimana?" tanyanya.

"Delapan bulan, Bang. Ire belum ada tanda-tanda hamil sama sekali," lirihnya.

Habib mendekat, ia menyentuh pundak istrinya. Tangan besar itu lalu merambat pada pucuk kepala Ire yang tertutup jilbab. Lelaki itu mengusapnya lembut.

"Aku ga masalah, Re. Toh memang kita sama-sama sibuk. Allah lebih tahu kapan saat yang terbaik untuk kita."

Kalimat itu membuat Ire tersenyum, " Maaf, ya, Bang."

"Gak usah minta maaf, Re. Bukan salah kamu."

Wanita itu manggut-manggut, lalu saat sang suami melenggang pergi ke kamar mandi, Ire kembali tersenyum. Ia beruntung, ia menikah dengan lelaki yang sangat menyayanginya dan menerima dia apa adanya.

Tangan putih pucat dari Ire memegang perutnya, "Kapan pun kamu mau datang, silakan, Nak. Bunda sama Ayah menunggu."

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang