[•° EMPAT °•]

156 34 15
                                    

Mbak, kalau ga bisa kasih anak, sini suaminya buat saya aja. Kasihan atuh Mas Habib ganteng n tajir kalau ga ada penerusnya.

DM dari wanita gak dikenal itu langsung membuat Ire bad mood. Ia meletakkan ponselnya di meja cafe dan meneguk matcha latte pesanannya dengan tak nyaman. Apa orang-orang seperti itu sama sekali tak punya perasaan? Kalau tidak sebagai sesama wanita, setidaknya perikemanusiaan.

"Pasti ulah netizen lagi, Re?" tanya Yeya, teman sekaligus manajer dari Ire.

Gadis dengan kulit terang yang hobi memakai kerudung kotak itu sangat paham akan perasaan Ire. Mereka saling mengenal sejak keduanya kuliah di fakultas yang sama dengan jurusan berbeda.

"Mereka tuh kalau ngetik mikir ga, sih? Kog kaya seakan-akan aku gapunya perasaan," curhat Ire. Ponselnya diambil seijinnya oleh Yeya, begitu membaca pesan itu, Yeya langsung emosi.

"Wah, kalau gini udah keterlaluan. Report aja, Re!"

"Gausah ... gausah, aku block aja." Ire kembali mengambil ponselnya lalu segera memblokir pemilik akun kurang ajar tersebut.

"Re, tenang aja, Bang Habib itu setia, kog. Dia kelihatan banget sayang dan cinta sama kamu, ga mungkin lah pindah ke lain hati," ujar Yeya sembari menyesap kopi susu pesanannya.

Sebenarnya, bukan itu yang Ire takutkan. Soal Habib, tentu ia percaya suaminya itu setia. Habib orang baik, berasal dari keluarga yang baik, tidak mungkin terpikir untuk mengkhianati Ire. Tapi, ujaran sindir seperti itu sangat-sangat berbekas di hati Ire.

"Iya, Ya. Aku percaya sama Bang Habib. Tetep aja, kan, kata-kata kaya gitu ga pantas diucapkan?" Ire meminta persetujuan Yeya, lalu dijawab anggukan yakin dari temannya.

"Banyak kog pasangan yang butuh waktu lama buat punya momongan, jadi kamu ga usah terlalu khawatirkan. Toh, kamu masih muda."

"Makasih, Ya."

Yeya tersenyum, "Kamu kan sering belain aku kalau ada yang nyindir 'kapan nikah' sekarang giliran aku bela kamu, Re."

Kalimat itu membuat Ire terharu. Benar, kan? Kebaikan kita pada seseorang pasti akan di balas kebaikan juga. Ire selalu percaya itu, selalu.

"Oh, iya, Ya. Jadwal aku minggu depan gimana?"

Gadis yang ditanya mengeluarkan tab nya, lalu mengutak-atik sebentar dan menyodorkan pada Ire.

"Kamu ada seminar di Universitas Medika sama isi kajian di Komunitas Muslimah Milenial," baca Yeya, "nanti jadwal dan tema aku kirim lewat WA."

Ire manggut-manggut, "Sip, terus give away buku keempat aku jadinya kapan?"

"Oh, mungkin dua mingguan lagi. Soalnya Instagram kamu pasti penuh sama info seminar, aku gamau jadi ketumpuk, Re."

"Aku percaya kamu bisa atur semuanya, Ya. Makasih banyak banget udah mau bantuin aku."

"Iyaa sama-sama, aku seneng kog bisa bantu wanita hebat kaya kamu."

"Aww, terharu." Ire tertawa kecil, membuat temannya ikut tertawa.

"Kamu mau ada buku lagi?" tanya Yeya memecah keheningan setelahnya. Ire nampak mengunyah croissant bertabur gula kesukaannya dengan khidmat sebelum menjawab.

"Ehm, kayanya masih agak lama. Aku mau fokus ke seminar dulu."

"Sip, terima jadwal ke luar kota, gak? Kemarin ada universitas dari Bandung mau kamu isi seminar mereka tentang peran pendidikan terhadap masa depan anak bangsa. Duh! Aku hafal temanya wkwk."

Ire mendelik, "Aku sih boleh, cuma aku tanya Bang Habib dulu, ya."

"Oiya, kan harus ada ijin suami ya kalau mau pergi," Yeya menepuk jidatnya.

"Iyaa, gitu deh. Btw, soal Dino gimana?"

Pertanyaan itu membuat Yeya tersipu. Gadis konyol semacamnya akan tampak sangat gemas sekaligus pengen tampol kalau lagi salah tingkah, sungguh.

"Semoga lancar ta'aruf nya, biar cepetan nyusul kamu!"

"Aaminn, udah sampai mana?"

"Ehm, dua keluarga sih udah ketemu. Kata Ayah, Dino orang baik juga sopan."

"Waduh, lampu hijau, tuh!" seru Ire.

"Doain, Ireee!!!"

"Pasti, Ya! Aku selalu berdoa yang terbaik buat temen aku yang satu ini."

×××

"Ire mau masak makan malam atau Ibu yang masak?" tawar Bu Iis sesaat setelah Ire mendudukkan dirinya ke kursi ruang tamu. Wanita itu menoleh dan nampak berpikir.

"Masakin aja, Bu. Ire capek banget hari ini," jawabnya.

"Ohh, mau dimasakkan apa?"

"Mie goreng aja, Bu. Dicampur udang sama bakso, masih ada kan di kulkas?"

Bu Iis memutar bola matanya, berusaha mengingat apa isi kulkas dari yang terakhir ia lihat tadi siang.

"Kayanya masih ada, Re. Itu aja?"

"Iya, tolong, ya," katanya.

Begitu Bu Iis meninggalkan dirinya sendiri, Ire celingak-celinguk. Suaminya belum pulang, ia melihat jam di ponselnya dan mendelik kaget.

Sudah pukul setengah tujuh, tidak mungkin Habib latihan dari pagi sampai sekarang. Bisa-bisa kelelahan. Apalagi, tidak ada pertandingan dalam seminggu dekat ini.

Pikiran Ire mulai aneh-aneh. Banyak kemungkinan yang tidak mungkin muncul di kepalanya. Jangan-jangan Bang Habib ..., wanita itu langsung mendial kontak suaminya.

"Assalamualaikum, Bang?" tanyanya saat nada sambung berhenti dan teleponnya diangkat.

"Waalaikumsallam, iya?" terdengar gemeresak berisik di seberang sana. Sepertinya Habib sedang ada di tempat umum.

"Abang kog belum pulang? Lagi dimana?"tanyanya dengan nada sedikit merajuk, ia mendengar Habib terkekeh.

"Kan aku dah bilang, Re. Aku mau ke cafe dulu sama Rama. Aku mandi di apartemen."

Ire menautkan alisnya. "Kapan bilangnya?"

"Coba cek dulu wa nya," jawab Habib singkat.

Dengan tidak mematikan sambungan telepon, Ire mengecek pesan masuk di WhatsApp nya. Benar, Habib memang mengirimkan pesan sekitar dua jam lalu. Ia tidak sadar karena dua hari ini notifikasi aplikasi ia matikan.

"Eh, iya, maaf."

"Iyaa, gapapa. Yaudah, Abang lanjut ngopi dulu ya!"

Ire tersenyum, tentu Habib tak bisa melihatnya.

"Iya, Bang. Tapi jangan makan diluar, Ibu udah masak mie goreng udang."

"Siap, Nyonya besar!"

Ire terkekeh. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam."

Telepon ditutup, kasus selesai. Kecurigaan Ire memang tidak terbukti, kan? Benar, Habib memang lelaki yang baik, tidak mungkin macam-macam. Ire jadi tenang. Ia beranjak, hendak mandi dan sholat di kamarnya.

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang