[•° LIMA PULUH °•]

130 10 0
                                    

"Postingan terakhir di ukhtinesia viral ya, Re?" tanya Habib sembari memotong daging steak buatan Ire. Dimasukkannya potongan itu ke mulut lalu ia mengunyahnya dengan amat khidmat.

Ire menoleh, perut besarnya mulai terlihat walaupun ia sudah pakai baju paling longgar sekalipun. Mungkin benar, harusnya ia membeli baju khusus ibu hamil. Perempuan itu berjalan ke meja makan lalu duduk di salah satu kursinya.

"Oh ya? Ire malah belum cek," katanya. Tangan pucat itu mengambil sebuah sendok makan dan menyuapkan sesendok pure kentang ke mulut.

"Iya, banyak yang bahas. Mulai dari diksi nya sampai kisahnya."

Ire menaikkan kedua alis, "Eh? Coba nanti Ire lihat deh."

"Kamu beneran gapapa bahas itu lagi?" lelaki itu menunjukkan khawatir yang kentara. Sudah lama ia berusaha membuat Ire lupa soal masa lalu, tapi tetap saja wanita itu mengingatnya.

Habib juga membaca postingan soal pengalaman itu di laman ukhtinesia, hatinya ngilu. Ia tidak tahu bagaimana Ire yang ceria dan tidak pernah terlihat sedih itu menjadi begitu depresi hanya karena seseorang. Habib tidak mau membayangkan.

"Gapapa, semuanya kan udah berlalu," jawab wanita itu santai. Walaupun ia sudah tak merasa sakit, ia tak pernah lupa rasa nyeri yang menghujam dadanya beberapa tahun lalu.

Lelaki yang di depannya manggut-manggut, tidak mau membahas lagi masa lalu itu atau ia akan menyalahkan diri sendiri kalau Ire sampai sedih.

"Abang baca ukhtinesia gak, sih?" tanyanya. Pure kentang itu sudah hampir habis dan Ire masih amat lapar.

Kemarin, ia menimbang badan dan menemukan bobotnya sudah naik tujuh kilo sejauh ini. Tidak apa-apa sebenarnya karena ini demi sang anak, hanya saja kadang Ire insecure dengan bumil yang masih langsing ketika usia kehamilan sudah besar.

"Baca," kali ini saatnya Habib mengambil pure kentang. Daging buatan Ire memanjakan lidahnya tapi ia tetap butuh karbohidrat pagi ini.

"Sejauh ini gimana?"

"Bagus. Soal kepenulisan siapa sih yang meragukan Shireen Hwa?"

Entah maksudnya memuji atau bagaimana, ekspresi Habib datar-datar saja. Ia bahkan tidak melihat Ire yang tersipu sama sekali. Mata lelaki itu tertuju ke piring, membuat Ire langsung introspeksi kalau Habib tidak sedang menggombali nya.

"Abang hari ini libur, kan?"

Habib mengangguk.

"Temenin Ire, yuk!"

Lelaki itu mendongak lalu melayangkan tatapan yang langsung menyatakan 'kemana?' tanpa harus bertanya.

"Beli baju hamil, kayanya gamis Ire ga cukup longgar buat nutupin baby bump nya."

"Oh," ia meneguk air putihnya, "boleh."

Ire tersenyum senang, ia melanjutkan makannya sampai tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepalanya.

"Bang, selama hamil Ire ngeselin, ya?"

"Hm?" Habib menatap istrinya dengan tatapan konyol, "enggak."

"Bohong," selidik Ire.

"Jarak nyebelinnya kamu dari sebelum dan saat hamil itu enggak yang drastis banget, Re. Malahan aku yang kayanya makin ga bisa nahan emosi."

Wanita itu mengigit bibirnya. Soal tamparan waktu itu, benar-benar diluar dugaan. Ia tidak menceritakan pada siapapun karena pasti Habib yang disalahkan.

"Berarti dari dulu Ire ngeselin?" tanyanya lagi.

"Aku pernah denger," Habib menjeda kalimatnya untuk menelan pure kentang di mulut sebentar, "pasangan yang langgeng itu, cowonya sabar, ceweknya ngeselin."

"Lalu," Ire memancing.

"Aku gak setuju."

"Ha?" wanita itu sampai menaruh sendoknya, jawaban Habib membuatnya penasaran.

"Pasangan yang langgeng itu yang sama-sama belajar buat jadi lebih baik. Ga selamanya yang ngeselin terus-terusan begitu dan yang sabar juga ada batasnya."

Ire mengagguk, "iya."

"Kaya siapa?"

"Kaya kita," jawabnya.

"Duh, Ire ku gombal," Habib terkekeh.

"Lah kan ditanya, ya Ire jawab lah," kilahnya.

Keduanya sama-sama melanjutkan bersantap, sesekali Habib bertingkah dan membuat istrinya tertawa. Lelaki itu benar-benar konyol, sedangkan sang istri receh luar biasa.

"Harusnya, Bang. Ire yang tanya, Abang gapapa kalau Ire bahas lagi Kak Ardan?" bukanya. Habib mendesah, ia tidak mau membahas luka Ire lagi tapi malah wanita itu yang memancing.

"Aku sih ...," lelaki itu menyugar rambutnya, "asal kamu baik-baik aja aku gapapa."

Wanita di depannya nampak lega, "Ga usah cemburu, Bang. Masa lalu. Harusnya Ire bersyukur karena kalau dulu ga ada Kak Ardan, mungkin Ire ga akan menemukan laki-laki seberharga Abang."

"Kog bisa?" kali ini Habib yang memancing, ia tahu kalau Ire sudah menjeda kalimat artinya wanita itu hendak bercerita.

"Ire males banget buat jatuh hati lagi semenjak saat itu, Bang, sebenarnya. Sebab akhir semuanya tergantung dari bagaimana awalnya, kan? Jatuh hati itu awalnya jatuh, akhirnya juga," jelas wanita itu.

Habib membulatkan matanya, ia tahu trauma Ire begitu dalam tapi ia tidak menyangka Ire pernah se-idealis itu.

"Ire males membangun hubungan yang cuma nunggu runtuh. Males sama adegan cemburu apalagi posesif yang cuma ngebuang waktu," wanita itu menghela napas.

"Kan cemburu artinya sayang," kilah si lelaki dengan datar.

"Diikat itu ga enak, mengikat itu capek. Biarin aja orang yang kita sayang bebas, kalau dia buat kita, dia bakal setia," Ire tersenyum.

"Abang pernah denger soal orang yang membatasi pasangannya untuk mengenal orang lain?" tanyanya, khas Ire ketika hendak mengeluarkan uneg-uneg.

Habib mengangguk, ia pernah tahu, ada beberapa temannya yang begitu. Sebagai pemain sepakbola, sering ia dengar pertengkaran sang teman dengan pasangan akibat 'orang baru'.

"Ire juga pernah setakut itu. Sampai Ire sadar kalau itu semua melelahkan. Capek banget kepikiran 'dia mau sama gue karena belum kenal si A' 'kalau ada yang lebih cantik, mungkin dia gak sama gue'."

"Padahal, kalau dasarnya setia dan emang jodohnya, mau ketemu sama semua orang di dunia juga bakal stay sama kita," wanita itu menaik-turunkan alisnya, "bebasin aja, kalau dia bablas pergi berarti memang ga seharusnya sama kita."

Lelaki di depannya merambatkan tangan ke Ire, menyalurkan ketenangan pada wanita itu. Netra keduanya bertumbuk, senyuman mereka mengembang bersamaan.

"Abang bangga punya pasangan yang selalu bisa belajar dari apapun yang terjadi di hidupnya," puji si lelaki.

Ire meringis, "kalau kita gak belajar, namanya kita gak berkembang. Yang patah kan harus sembuh ... dan tumbuh."

Habib manggut-manggut, "yaudah, Abang ke kamar dulu, ya. Mau siap-siap buat nemenin kamu beli baju."

"Oke, Ire beresin dulu makanannya."

Setelahnya, lelaki itu melenggang ke kamar sedangkan Ire masih berkutat di dapur. Selagi mencuci piring, wanita itu mengulum senyum.

"Ire juga bersyukur punya pasangan yang menerima masa lalu Ire," desisnya, "semoga kita bersama until Jannah ya, Bang."

Suara air yang mengucur dari keran memenuhi ruangan, seakan sama derasnya dengan aliran darah Ire karena rasa syukur dan senangnya bisa begitu beruntung mendapatkan Habib.

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang