[•° ENAM BELAS °•]

112 19 7
                                    

Wanita dengan mukena putih berenda beige itu langsung menyelesaikan kegiatan mengajinya begitu perutnya kembali terasa mual. Ia segera melepas mukena dan berlari ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.

Sampai di wastafel, cairan bening yang encer itu kembali termuntahkan. Kali ini tidak begitu banyak, Ire bisa langsung menyeka mulutnya dengan air yang keluar dari keran.

Saat bersandar pada wastafel, matanya tertuju pada dua benda kecil berbeda ukuran yang ia letakkan di rak yang ada di kamar mandi.

Kemarin, begitu Habib bilang kalau ia akan pulang hari ini, Ire yang sedang berada di apotik hampir kaget dan menjatuhkan ponsel. Ia ragu untuk tes, tapi ia sudah sampai dan petugas apotek sudah menanyainya.

"Cari apa, Kak?"tanyanya pada Ire yang saat itu menggunakan blouse floral selutut dan celana panjang gombrang serta kerudung kotak senada.

Ire yang baru saja mendapat pesan dari Habib tersenyum canggung. Ia malu, tapi langsung mengatakan pada pikirannya bahwa ia tidak perlu malu oleh apapun.

"Test pack," katanya.

Petugas apotek itu tersenyum, tidak nampak mengenali Ire yang menggunakan masker. Ia melenggang ke rak yang tak jauh dari situ. Mengambil dua dus yang sama-sama berwarna putih dan menyodorkan di depan Ire.

"Mau yang mana, Kak?"

Ire menautkan alisnya. "Bedanya apa?"

Wanita dengan seragam hijau muda itu terkekeh pelan, berusaha untuk tetap sopan sekaligus ramah di depan pembeli.

"Kalau yang ini," katanya sambil mengangkat yang lebih besar, "harganya lebih mahal, tapi juga lebih akurat."

Ire mengangguk. "Yang satunya?"

"Ini yang biasa di beli, Kak. Lebih murah dan ringan, tapi akuratnya cuma sembilan puluh tujuh persen."

Wanita itu mengigit bibirnya. Dilema mau memilih yang mana. Bukan soal harga, tapi ia benar-benar bingung. Ia melakukan test ini cuma karena mual dan pusing berkepanjangan dan jadwal mens yang telat. Kalau hasilnya negatif, Ire pasti kecewa.

"Jadi, mau yang mana, Kak?"

"Eh." Ire menggaruk tengkuknya. "Dua-duanya aja."

"Oh, oke." Petugas itu mengambil sebuah plastik lalu memasukkan dua dus itu ke dalamnya. Lalu menyodorkan ke Ire setelah wanita itu membayar dengan nominal yang ia sebutkan.

Sekarang, benda itu ada di tangan Ire. Tangan putih pucat yang bergetar takut. Kalau ia tidak hamil, ia pasti kecewa. Ekspektasi pada dirinya sendiri roboh begitu saja. Bibirnya bergetar, khawatir betul dengan hasilnya.

Kemarin, ia sempat membaca di internet kalau test urin itu lebih baik di pagi hari sebelum memakan apa-apa. Berarti sekarang saatnya. Ia menghela nafas, berusaha meyakinkan bahwa apapun hasilnya ia akan terima.

Ia membuka dua-duanya, mencoba dua alat yang katanya punya keakuratan yang berbeda itu. Membiarkan alatnya bekerja, entah harus didiamkan beberapa lama, Ire meletakkannya di wastafel dalam keadaan terbalik.

Sementara menunggu, ia merapal dalam hati bahwa ia harus bisa menerima. Habib, suaminya itu sudah bilang kalau mereka tidak perlu terburu-buru. Tapi sebagai wanita, ia benar-benar ingin membahagiakan Habib. Salah satunya dengan memberi anak, itu yang ada di pikiran Ire.

Sehabis menghela nafas lagi, ia membuka salah satu diantara test pack nya. Test pack yang kecil, yang katanya tidak begitu akurat. Ire menutup mata, lalu membukanya perlahan. Apa yang ada di tangannya membuat gadis itu menganga.

Dua garis.

"Positif?" gumamnya sembari menutup mulutnya dengan tangan satu lagi. Tangan yang kini merambat pelan ke perutnya.

"Tapi yang ini kan kurang akurat," katanya pada diri sendiri, ia meletakkan benda tipis itu ke wastafel lagi, lalu mengambil yang satunya.

Lagi-lagi ia merapal, lalu menutup mata untuk menenangkan dadanya yang bergemuruh. Secercah harapan datang dan itu membuatnya berharap lebih pada benda yang lebih tebal dan berat ini.

Ia membuka mata dan,

dua garis, lagi.

Wanita itu meletakkan benda itu ke sebelah satunya, lalu kedua tangannya yang sudah dicuci bersih mulai menutup mulutnya yang mengeluarkan tawa sekaligus rengekan senang.

Ia duduk di kloset yang tertutup. Menunduk sambil menahan tangis haru. Ia tidak tahu benda itu benar-benar akurat atau tidak, tapi dua hasil yang sama adalah berita besar untuknya.

Ire keluar dari kamar mandi, duduk di ranjangnya. Kedua tangannya mengusap perut datarnya yang tertutup gamis.

"Nanti, waktu ayah pulang, kita bilang, ya," katanya bersekongkol dengan nyawa yang ada di rahimnya.

Kemarin, Ire sudah ke dokter dan besok ia akan mengambil hasilnya. Ia ingin Habib menemaninya. Wanita itu tak berhentinya menangis senang. Ia akan memberitahukan hal ini pada Bu Iis, Ibu-Bapak, dan Papa-Mama, setelah ia bilang ke Habib.

Dalam hatinya, ia bersyukur pada Allah untuk amanah ini. Amanah yang semoga bisa membawanya dan Habib semakin dekat denganNya.

"Sehat-sehat, sayang. Ayah pasti ga sabar main bola sama kamu," katanya sambil terkikik mengusap perut.



700++ kata
Seneng gak sih akhirnya Ire dikasih kepercayaan jadi Mama.

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang