[•° EMPAT PULUH LIMA °•]

106 13 0
                                    

Ire mendelik kaget saat merasakan sesuatu bergejolak di perutnya. Wanita yang tengah menyiapkan sarapan itu memegangi perut sembari memastikan gerakan tadi bukan hanya khayalannya.

"Eh?!" Ia terkekeh saat merasakan ada gerakan kecil lagi. Tangan satunya sampai menutup mulut saking tak percaya.

"Kamu gerak, sayang?" tanyanya sambil mengelus sebentar. Sedetik setelahnya, seorang lelaki dengan rambut basah sehabis keramas muncul dari balik tangga.

Habib, masih mengenakan kolor pendek berwarna biru metalik dan kaus hitam polos serta handuk kecil yang ia kudungkan di kepalanya.

Lelaki itu berjalan ke dapur, matanya tertuju pada gelas yang ada di atas meja makan, tidak menyapa istrinya sama sekali.

"Abang!" panggil Ire. Lelakinya menoleh dengan wajah konyol, apalagi tudung handuk di kepalanya menjuntai seperti rambut palsu.

"Apa?" Habib mengambil gelas, mengisinya dengan air mineral dan meneguknya. Wajah bahagia Ire membuat lelaki itu menghujamnya dengan tatapan tanya.

"Sini, deh," Ire menyuruh Habib mendekat, lelaki itu menurut.

Habib menaruh gelasnya ke meja makan, lalu berjalan ke Ire. Ekspresi bahagia wanita itu sama sekali tidak bisa disembunyikan.

"Ada apa?"

"Dia gerak, Ire terasa tadi," perempuan itu bercerita dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Habib mengangkat alis, ia segera berjongkok dan memegang perut buncit istrinya.

"Masa, sih?" tangan besar itu mengelus perut Ire. Tidak sampai hitungan sepulu detik, sebuah gerakan terasa di tangan Habib, membuatnya mendelik.

"Iya, kan?" tanya istrinya.

Habib kembali mengelus perut Ire sebelum menjawab pertanyaan istrinya. Handuk di kepala lelaki itu sampai melorot ke leher dan ia tidak peduli, rasa senangnya membuncah.

"Waw," pekiknya senang, "kalau dia nendang, sakit gak, Re?"

Wanita yang ditanya menggeleng, matanya mengikuti Habib yang berdiri dan kini bersandar di meja dapur. Lelaki itu tersenyum sampai deretan giginya terlihat, bahkan ada cetakan lesung kecil yang Ire jarang sekali lihat selama ini.

"Satisfying banget, parah," kekehnya, "aku kira ga bakal sejelas itu."

"Katanya Abang baca," protes Ire, tangannya mulai sibuk lagi dengan piring dan makanan yang sudah siap di atas panci.

"Iya, baca. Tapi tetep aja rasanya seneng banget. Artinya, dia memang sedekat itu sama kita, Re."

Ire mengangguk. Saat tangannya hendak menuang sayur dari panci ke piring, Habib mencegahnya. Ire melempar tatapan tanya tapi lelaki itu malah tersenyum tengil.

"Kenapa?"

Habib tidak mengatakan apapun, jantungnya berdegup melihat cantiknya Ire dengan wajah polosnya. Lelaki itu menggeser tubuh Ire hingga menghadap lagi ke arahnya. Tanpa permisi, lelaki dengan tinggi menjulang tersebut memeluk istrinya.

"Kenapa sih, Bang?"

"Kan belum bisa peluk anaknya, jadi ku peluk bunda nya aja," bisik Habib. Perut six pack miliknya bertumbuk dengan perut buncit Ire dan itu membuatnya kembali merasakan desiran halus di dada.

"Apa sih, wkwk," Ire terkekeh, "hati-hati, nanti dia kejepit."

"Oiyaa," Habib melepas pelukannya, lalu kembali mengusap perut istrinya.

"Sehat-sehat, sayang. Ayah ga sabar ketemu kamu," katanya. Lagi-lagi, ia dan Ire sama-sama merasakan gerakan halus itu, membuat keduanya tertawa.

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang