EMPAT PULUH SATU

Mulai dari awal
                                    

Kedua tangan Areksa mengepal. Ia menatap kepergian Seano dengan menahan emosi agar tidak meledak. Naura yang menyadari perubahan raut wajah cowok itu pun mengerutkan dahi bingung.

"Kenapa, Sa?" tanya gadis itu.

Areksa menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa. Kalian lanjutin dulu, ya. Gue ada urusan."

Tidak ingin mencampuri urusan Areksa, Naura pun menganggukkan kepalanya. "Siap, Pak Bos," katanya dengan nada bercanda.

Buru-buru Areksa mengambil tasnya yang sengaja ia letakkan di pos satpam. Setelah itu, ia melangkah pergi menuju gedung SMA Taruna Bakti lantai dua. Ia ingin menemui Ilona. Meskipun masih merasa kesal, Areksa akan tetap menemui gadis itu untuk melihat keadaannya dan mengawasi Seano.

Sampainya di kelas Ilona, dirinya langsung disambut oleh berbagai macam tatapan dari teman-teman gadis itu. Mata tajam Areksa langsung tertuju ke arah Ilona yang menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangan yang gadis itu letakkan di atas meja.

"Na?" panggil Areksa pelan seraya menyentuh kepala gadis itu.

Mendengar panggilan lembut dari Areksa tentu membuat Ilona mendongakkan kepalanya. Kedua mata gadis itu terlihat sayu dengan pipi kanan yang terlihat lebam.

"Pipi lo—" Areksa menghela napas berat, "bilang ke gue siapa yang berani bikin lo kayak gini."

Bukannya menjawab, Ilona justru merangkul erat pinggang Areksa. Gadis itu menumpahkan tangisnya di perut cowok itu yang terbalut rapi dengan seragam sekolah.

Areksa yang langsung paham pun mengelus kepala gadis itu lembut. Berupaya untuk menenangkan suasana hati Ilona. Rasa kesal yang sempat bersemayam di hatinya seolah luntur begitu saja ketika melihat kedua mata Ilona yang menyorot sendu.

"Sekolah bukan tempat nangis," ujar Seano tiba-tiba. Cowok itu tidak mengalihkan pandangannya pada buku paket matematika yang sekarang berada di tangannya.

Areksa berusaha menulikan pendengarannya untuk tidak menanggapi ucapan cowok bermulut pedas itu. Ia tetap fokus pada Ilona yang menangis pelan dalam rangkulannya.

"Ikut gue ke UKS aja, Na." Areksa mengurai pelukan Ilona padanya. Jemarinya bergerak menghapus jejak air mata yang berlinang di pipi gadis itu.

"Nggak mau, nanti Papa marah." Ilona menggelengkan kepalanya pelan.

"Ona ... nurut, ya?" pinta Areksa dengan lembut.

Ilona menggelengkan kepalanya lagi. "Nggak mau Eksa, nanti Ona dipukul ...."

Mendengar kata 'dipukul' itu membuat hati Areksa seolah diremukkan. Ia tahu bagaimana menderitanya gadis itu sekarang. Rean benar-benar keterlaluan memperlakukan anaknya.

"Om Rean nggak bakalan liat, Na," balas Areksa masih membujuk gadis itu.

"Papa nyuruh dua orang itu buat ngawasin gue." Ilona menunjuk dua orang yang berdiri di depan kelasnya. Areksa pun mengikuti arah tunjuk gadis itu. Ia baru sadar kalau ada dua orang lelaki berpakaian formal di depan kelas Ilona.

"Tapi pipi lo belum diobatin." Areksa menunjuk pipi Ilona. "Gue ambilin air dingin sama kain buat kompres pipi lo, ya?"

"Enggak usah. Besok juga sembuh sendiri. Udah jam tujuh, nanti lo telat masuk kelas, Sa."

AREKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang