📎 Prolog

26 17 22
                                    

***

Mata bulat cokelat terangnya masih terpaku pada langit-langit kamar, sesekali berkedip pelan tanpa sepatah katapun keluar. Ingatan sebelum kejadian yang mengakibatkan ia harus berbaring di ranjang rumah sakit dengan perban yang membebat habis dipergelangan tangannya makin menguar, tak perduli jika si pemilik ingatan masih belum bisa menerima kenyataan. Bahkan sampai kapanpun tak akan pernah bisa menerima.

Sedikit-sedikit bulir kristal berkumpul di sudut mata, lalu mengalir semakin deras seirama dengan detak jantung yang menggedor dada. Sesak melingkupi seluruh dunianya, seakan kehilangan kosakata ia hanya bisa bertanya, "Ardan ...? " Pikirannya semakin linglung. Bahkan nyeri dilehernya yang terbalut gips tak lagi terasa, lagi-lagi pemikiran negatif merayapi relung dan pikiran hingga yang paling dalam. "Bun, Ardan ..., " ucapnya lagi. Tak kuasa menyebut satu kata yang sebelumnya tak pernah dibayangkan.

Mobil yang ditumpangi Ana dan si kembar─Rian dan Ardan─ mengalami tabrakan beruntun hingga menerobos marka jalan, mengakibatkan terperosok ke jurang dengan cara berguling-guling lalu berhenti saat mencapai dasarnya. Rian yang sadar terlebih dahulu langsung mengarahkan tungkainya meski pening karena cairan merah kental terus mengalir dari pelipisnya, menuju bangku penumpang dimana Ana masih menutup matanya.

Suara serak sang anak menambah keprihatinan, bibir mungil yang diturunkan kepada anaknya berusaha tersenyum menyamarkan bau kedukaan. "Tenang, ya, Sayang. Kalau kamu sudah sembuh, kita ke Ardan sama-sama," jawabnya.

Ia menggeleng pelan seraya menjawab, "Sekarang, mau sekarang, Bun." Ucapannya diiringi isak tangis yang makin pilu.









***

Busan, Korea Selatan
1 tahun kemudian

***

Rasanya sama saja, menyakitkan.

"Aku tidak mencintaimu," tuturnya dengan yakin. Sambil menatap netra laki-laki yang duduk dihadapannya, ia kembali bersuara, "Itu yang aku rasakan selama ini."

Salah satu cafe di kota Busan yang sedang sepi pengunjung menjadi salah satu saksi bisu bagaimana kedua insan saling bertolak belakang.

Gemerincing lonceng di pintu kaca sesekali berbunyi, suara mesin kopi, geremang kecil yang berada dibeberapa meja, atau suara kendaraan berlalu-lalang terdengar saat pintu masuk dibuka, menyibak ketegangan diantaranya.

Hot Americano makin dingin efek diacuhkan sang pemesan. Lagipula siapa yang memilih menyesap kopi saat pernyataan cintanya ditolak?

Dadanya bergemuruh, hatinya tercabik, tangannya mengepal erat menahan sesak. "Kenapa kamu begitu yakin dengan perasaanmu itu? Maksudku ... dengan semua hal yang sudah aku lakukan untukmu, apa itu kurang meyakinkanmu? Oh, apa karena kembaranku Ardan? Bahkan dia sudah mati!" geramnya.

Mata Ana mengerjap, tak habis pikir dengan kalimat yang terlontar. "Aku tidak percaya kau bisa berkata seperti itu," desisnya. "Bagaimana denganmu? Kenapa kau begitu yakin kalau Ardan tidak selamat?"

"Bukannya sudah jelas!"

"Namun perasaanku mengatakan jika dia masih ada di luar sana, dan ya ... sepertinya kita hanya cocok menjadi teman." Bulu mata yang menaungi netra cokelat terangnya mengerjap pelan menahan air mata.

"Tidak! Kita bisa lebih dari itu. Lagipula sudah satu tahun berlalu, lupakan dia, ya .... "

"Bagaimana? Meskipun wajahmu mirip dengan dia, kau tidak bisa menyemainya. Kau ... sama sekali bukan dia."

Tidak ada yang tahu jika dihatinya ia bertekad untuk mendapatkan Ana.

Aku tidak akan membiarkan siapa pun memilikimu, harus aku, batinnya.

Sulit, jika tema cintanya, bertepuk sebelah tangan.

***

Embusan angin malam yang dingin, menerpa tubuh seorang gadis cantik yang tampak melamun di kamarnya. Jendela di biarkannya terbuka meskipun ia sudah meringkuk kedinginan. Pikirannya mengelana tak tentu arah, otak gadis itu terus saja mengingat kenangan indah yang takkan pernah terulang apalagi terganti, mungkin.

Ardan, mengajarkan bagaimana menyayangi seseorang dengan rasa takut kehilangan. Mengisi hidupnya dengan warna yang indah, selalu berada di sisinya. Dan semua itu membekas rapi dalam memori.

Mengingat momen indah di hidupnya bersama orang yang ia sayangi rasanya sangat menyenangkan, tapi semua berubah karena kecelakaan yang dialaminya setahun lalu. Insiden itu mengakibatkan Ardan menghilang. Rasa bersalah bertumpuk, menciptakan gunung-gunung duka.

Bahagia seakan berbalik membenci dirinya, hari-hari yang terlewat hanya sekadar hampa.

Sambil menghela nafas berat, terlintas perdebatan dengan Adrian kemarin, "Bagaimana jika seandainya dia selamat, tapi dia tidak mencintaimu lagi? Ah, jangankan itu. Dengan dirinya sendiri saja dia tidak peduli," urainya. Sambil menyeringai di akhir kalimat, dan sebelah alis yang mengangkat. Gaya meremehkan khasnya.

***

[Note:]
Sudah dapat sedikit gambaran?
Atau masih terlalu abu-abu?
Sangat-sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran dari teman-teman semua.
Hope you enjoy!

Halu(an)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang