"Kau pikir itu berguna? KAU PIKIR MEDALI ITU BISA MEMBERIKAN UANG, RUMAH, SEGALANYA YANG KAU PUNYA SEKARANG!"

"Apa yang ku punya? Apa yang ku punya Ayah! Tidak ada! Aku tidak memiliki apapun, aku bahkan tidak memiliki diriku sendiri! SEMUA DALAM DIRI KU SUDAH KAU ATUR! APA YANG KU PUNYA?!"

"ANAK INI HARUS DI BERI PELAJARAN!" Reno menarik rambut Raka kasar, menyeretnya memasuki ruang hukuman yang berada di dalam ruang kerja. Ruangan yang sering di pakai untuk orang-orang rumah yang tidak menuruti perkataannya. Sementara Raka tidak melawan sedikit pun, ia tahu ini akan terjadi ketika ia melawan Reno.

Brak!
Pintu terbuka, menampilkan Bulan, Ibu Raka yang tengah menangis, sedari tadi ia berdiam di depan pintu, tidak berani masuk. Tergopoh-gopoh ia menghampiri suaminya.

"Jangan! Jangan lakukan itu! Ku mohon, dia anakmu!" Bulan memegang lengan Reno, ia berlutut memohon.

"Lepas!" sentak Reno menarik tangannya hingga Bulan terjatuh.
"Ini semua karena mu tidak mendidiknya dengan benar!"

"Kau benar ini salahku, karena itu lepaskan lah dia." Bulan menangis, tangannya berusaha melepaskan tangan Reno dari kepala anaknya.

"Aku tidak butuh anak tidak berguna seperti dia!" Reno semakin kuat menarik rambut Raka.

Raka terkekeh pelan. "Tidak berguna? Apa kau selalu melihat anak-anakmu sebagai dakian untuk karirmu? Karena bila kami tidak ada, kau hanya  akan menjadi bawahan! KALAU BEGITU BUNUH SAJA ANAK TIDAK BERGUNA SEPERTI KU! KENAPA KAU MASIH MEMBIARKAN KU HIDUP!"

"RAKA CEPAT MINTA MAAF!" Bulan berseru histeris.

"Kau lihat? LIHAT ANAK INI! AKU AKAN MEMBUNUHMU!" tanpa belas kasih sedikit pun, Reno mendorong kasar tubuh Bulan yang menghalangi jalannya. Menyeret kasar Raka, memasuki ruangan.

Brak! Pintu tertutup. Suara pukulan keras terdengar dari dalam. Bulan tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menangisi perbuatan suaminya pada anak mereka.

Setelah hampir setengah jam pintu terkunci, Reno keluar. Bulan yamg sedari tadi bersandar di depan pintu berjalan masuk, hanya untuk melihat keadaan Raka yang mengenaskan. Baju nya sudah di lepas, punggungnya penuh dengan luka sobek bekas cambukkan. Begitupula dengan bagian depannya yang penuh dengan luka lebam bekas pukulan dan tendangan yang di dapat dari ayahnya. Tentu saja tidak ada luka pada wajahnya dan bagian yang mudah terlihat orang lain, itu hanya akan mengundang kecurigaan orang luar.

"Raka." Bulan terduduk di samping anaknya yang meringkuk kesakitan. Tangannya terulur hendak memeluk anaknya, namun Raka menepisnya.
Raka berusaha bangkit, ia meringis menahan sakit. Bayangkan saja bagaimana sakitnya dipukul, ditendang, dicambuk selama hampir setengah jam. Raka ragu ia bisa mempertahankan kesadarannya atau tidak.

"Raka, biar ibu obati. Kamu jangan bergerak dahulu." Bulan mengusap air matanya yang sedari tadi tidak berhenti.

"Tidak usah sok peduli." sahut Raka dingin.

"Raka, ibu minta maaf." suara Bulan terdengar lirih.

"Kau sama saja dengannya."

"Apa maksudmu, Raka?"

"Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?" Raka menatap Bulan dengan senyuman sinis, tangannya memegang perut yang mulai membiru.
"Ibu memang tidak pernah memukul ku. Tapi ibu yang membuat ku hampir gila!"

"Apa maksud mu Raka?" tanya Bulan, sekali lagi.

" Saat aku sakit, kau memaksaku untuk tetap belajar. Kau membuatku mengikuti lomba sains padahal kau tahu kalau aku bodoh di bagian itu dan berakhir aku kalah, dan di pukuli dengannya! Saat nilai ku lebih jelek dari teman sekelasku, ibu melarangku untuk makan! SAAT AKU MENDAPAT PERINGKAT TERAKHIR IBU MENYURUH KU MATI!"

"BAGAIMANA BISA AKU BAIK-BAIK SAJA? BAGAIMANA BISA AKU BAIK-BAIK SAJA SETELAH TERLAHIR DI KELUARGA INI!"

Bulan menutup mulutnya tidak percaya. Ia tidak bermaksud menyakiti anaknya. Ia hanya ingin Raka menjadi lebih baik, agar tidak di pukuli Ayahnya lagi. Bulan sungguh tidak tahu, tindakkannya membuat anaknya seperti ini.
"Maaf, maaf, maaf ibu tidak tahu perasaanmu. Ibu memang bodoh, maaf." Bulan menunduk, menangis.

"Bagaimana ibu bisa tahu perasaanku? Sedangkan ibu hanya berdiri diam, menatap ku.
Meminta nilai sempurna dari ku. Tanpa bertanya apakah aku baik-baik saja!"

"YANG IBU TAHU HANYA BAGAIMANA AKU MENJADI ANAK YANG SEMPURNA, BAGAIMANA IBU BISA TAHU PERASAANKU!"

Raka berhasil berdiri dengan susah payah. Ia menatap tajam ibunya yang menangis.

"Aku tidak mengerti. Kalian yang membuat ku ada di dunia ini, tapi kenapa kalian melakukan ini padaku? Seberapa kerasnya pun aku berusaha, kalian tidak pernah bisa melihatnya. Bukan kehendak ku menjadi bodoh. Tapi kenapa aku yang di salahkan? Apa salahku?"

Raka berjalan tertatih keluar ruangan. Hari ini, semua emosi yang ia pendam sejak dulu ia keluarkan. Tapi kenapa ia tetap tidak merasa puas?

Serendipity Where stories live. Discover now