23. Belatung-Belatung Ganas Bernama Kesedihan

724 155 16
                                    

Beberapa orang hadir di hidupmu untuk membantah hal-hal yang sudah kaupercayai seumur hidup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa orang hadir di hidupmu untuk membantah hal-hal yang sudah kaupercayai seumur hidup. Ada yang membuatmu tak lagi percaya bahwa hantu itu nyata. Ada yang membuatmu berpikir ulang soal kalimat rajin pangkal kaya. Ada yang sanggup mengoreksi sikap pesimistismu dan menggantinya dengan harapan-harapan tak muluk.



Isao seperti itu bagiku. Dulu aku selalu percaya bahwa jika pada siang aku tertawa terlalu banyak, maka malamnya aku akan menangis. Meski aku tak lagi tahu apakah karena aku percaya maka kejadian atau karena kejadian maka aku percaya, yang jelas imanku yang satu itu selalu terbukti benar.



Malam ini tidak begitu. Setelah seharian tertawa-tawa sampai pipi pegal, malam itu aku tidak mendapati alasan untuk menangis. Yang tersisa hanya perasaan penuh, cukup.



"Sungguh tidak apa-apa, tidur sekamar begini?" tanyaku, bergerak mencari posisi nyaman di futonku yang digelar di lantai, di samping tempat tidur Isao. Apartemen Bibi Fukuda hanya memiliki dua kamar. Satu kamar utama, satu kamar tamu—yang biasa digunakan Isao jika berkunjung. Maka tentu saja kasur yang tersedia pun tidak terlampau besar. Pilihannya adalah aku tidur di lantai kamar ini, atau di ruang tengah di sofa.



Isao, tanpa belas kasihan, mendeklarasikan kasur adalah untuknya. Titik, tanpa koma.



"Kalau kau mau tidur bersama ibuku, silakan. Tempat tidurnya besar," jawabnya.



"Tidak mau. Aku mau nonton Netflix sampai malam, cahaya layar ponselku akan mengganggunya. Atau aku tidur di sofa ruang tengah ya?"



"Silakan saja jika kau mau kedinginan atau kena marah ibuku di pagi hari."



Sudahlah, aku memang sulit menang adu mulut dengan Isao. Dia pun tidak ada tanda-tanda bersedia mengalah. Maka aku menyerah dan bergerak-gerak lagi. Kamar itu hangat, dengan penerangan redup dari lampu dinding kecil di sudut ruangan. Pesan Riko yang masuk seharian ini baru sempat kubuka. Ketika kubalas dengan mengirim beberapa foto, tanda terbaca tidak berubah biru. Tampaknya dia sudah tidur. Hari itu season 2 serial favoritku tayang di Netflix jadi aku memutarnya dan menonton tanpa memasang suara, hanya membaca teks subs.



Tapi belum juga sampai seperempat episode satu, Isao sudah memanggil.



"Rika."



"Ya?"



"Tolong colokkan ponselku di meja sana."



Hah? Aku mengubah posisi tubuhku dari miring menjadi telentang, mendelik. Sekarang untuk men-charge ponsel saja dia harus menyuruhku? "Kau tidak punya kaki, ya? Kalau masih muda itu, kau harus banyak bergerak, tahu tidak?" omelku, meski aku sambil bangun juga dan melakukan yang dimintanya. Ketika ponselnya kucolokkan di meja dekat jendela, tentu layarnya menyala dan langsunglah terpampang foto RD LIGHT, berlima. Aku terpaku sesaat memandanginya. Foto RD LIGHT yang dipajang di rumah belakang kebanyakan adalah hasil pemotretan resmi, sementara foto yang sekarang kulihat ini tampaknya diambil bertahun-tahun lalu. Mereka terlihat seperti anak remaja biasa, mengenakan baju kasual, tanpa makeup atau riasan rambut. Kelimanya tersenyum sangat lebar, sangat bahagia.



ЯD LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang