TIGA PULUH ENAM

Magsimula sa umpisa
                                    

Ilona berdecih pelan. Menertawakan ucapan dari papanya itu. "Papa tau apa sih tentang mereka?" Ia menatap kedua orang tuanya itu dengan aneh.

"Jangankan mereka, sama anaknya sendiri aja nggak paham," lanjut Ilona.

"Ilona, cukup. Hentikan sikap kurang ajarmu itu. Kami ini orang tuamu. Kenapa kamu nggak pernah bersikap sopan sama kami?" balas Gina menggebu-gebu.

Bola mata Ilona menatap ke atas seperti sedang berpikir. "Ilona beneran anak kalian apa bukan, ya?"

"ILONA!" sentak Rean kelepasan.

Mendengar sentakan dari Rean justru membuat Ilona tertawa. "Bercanda kali. Serius amat, Om."

"Kurang ajar kamu! Bisa-bisanya kamu manggil papa kamu dengan sebutan om! Otak kamu di mana, Ilona?" tanya Gina.

"Ma, udah. Ilona jadi tambah sakit kalau kalian kayak gini," ujar Alana mencoba menenangkan Gina.

"Heh, Anak Pungut. Nggak usah sok kasihan sama gue. Nggak sudi!" kata Ilona.

"Memang kurang ajar kamu!" Rean hendak melayangkan tamparan pada anaknya itu tetapi seseorang terlebih dahulu mencekal tangannya. Pria itu menoleh ke samping. Ternyata Areksa yang melakukan itu.

"Nggak sekalian Om bunuh Ilona aja?" Areksa menghempaskan tangan Rean dengan kasar. Ia benar-benar sudah kehilangan akal untuk menghadapi pria yang satu itu. "Om lihat nggak kalau dia lagi sakit? Pernah nggak Om tanyain kabar dia barang sekali aja? Pernah nggak?"

Rean terdiam dengan tangan terkepal. Kedua matanya menatap nyalang ke arah Areksa.

"Kalau emang Om emang nggak bisa jagain Ilona, tolong jangan main tangan sama dia. Ilona anak Om sendiri. Dia butuh kasih sayang dan perhatian dari kalian berdua. Pernah nggak Om mikirin perasaan Ilona?"

Rean dan Gina sama-sama diam. Begitu juga dengan Alana yang kini menundukkan kepalanya.

"Percuma Om sama Tante dateng ke sini kalau cuma bikin mental Ilona semakin tertekan. Kalau Om sama Tante nggak bisa jagain dia, biar saya aja," lanjut Areksa. Tangan cowok itu menunjuk ke arah pintu ruang rawat Ilona yang terbuka.

"Pintu keluar ada di sana. Mending kalian bertiga keluar daripada saya makin muak sama kalian semua," titah Areksa tanpa ingin dibantah.

Rean membuang pandangannya ke samping. Ia tidak sudi diusir oleh remaja seperti Areksa. Anak itu sama kurang ajarnya dengan Ilona. Begitu kira-kira yang ada di pikirannya.

"Buang-buang waktu saja. Tau gini saya nggak akan pernah datang ke sini!" balas Rean dengan kesal. Ia menarik tangan Gina untuk diajak keluar. Sementara Gina menarik tangan Alana agar ikut bersama mereka.

"Ma ... tapi Ilona—"

"Diam kamu, jangan berani membantah seperti dia," serobot Rean tanpa ingin dibantah. Alana tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perkataan papanya. Ketiganya pun keluar dari ruang rawat Ilona.

Areksa menghela napas lega setelah melihat mereka pergi. Ia berjalan untuk menghampiri Ilona yang masih membuang pandangannya. Areksa tahu kalau gadis itu tengah menahan tangisnya.

"Ona?" panggil Areksa dengan lembut. Tangannya mengelus puncak kepala gadis itu. "Nggak mau peluk Eksa?"

Mendengar itu, Ilona langsung menatap Areksa dengan kedua mata berkaca-kaca. Gadis itu bangkit dari tidurannya, dibantu oleh Areksa. Tanpa lama-lama, Ilona segera berhambur ke dalam pelukan cowok itu.

"Nangis aja, Na, kalau itu bisa bikin lo lega," ujar Areksa seraya mengelus punggung Ilona yang bergetar hebat.

"Mereka jahat, Sa. Mama sama papa nggak pernah bisa sayang sama gue," ujar Ilona di sela-sela tangisnya.

AREKSATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon