TIGA PULUH ENAM

Mulai dari awal
                                    

Samuel tidak mengelak. "Sekarang, siapa pun di sini bisa aja berkhianat."

Farzan menipiskan bibirnya. Cowok itu memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap Samuel. "Lo nggak nuduh gue, kan?" tanyanya pada cowok itu.

"Gue nggak nuduh, tapi kalau lo merasa tertuduh ya jangan salahin gue," balas Samuel cepat. Raut wajah cowok itu masih terlihat tenang.

Kedua tangan Farzan terkepal. Ia tidak boleh terpancing emosi. Terlebih lagi kepada Samuel yang merupakan ketua mereka. "Ayolah, El. Mana mungkin gue berkhianat sama kalian? Gue dijebak. Orang itu pasti sengaja naruh kain identitas gue supaya kalian nuduh gue."

Areksa menatap Farzan dengan pandangan bersahabat. "Gue nggak nuduh lo, Zan. Gue cuma pesen ke kalian untuk nggak berkhianat." Ia berdeham pelan kemudian beralih menatap Marvel yang termenung.

"Gue sama El kemarin sempet denger pembicaraan dua orang suruhan di markas kita. Mereka bilang ada satu orang yang harus mereka hindari." Areksa menunjuk Marvel.

"Gue?" tanya Marvel seraya menunjuk dirinya.

Areksa mengangguk sebagai jawaban. Sementara Samuel terkekeh ringan. Cowok itu mengacak rambutnya asal.

"Bisa jadi mereka udah tau alat penyadap itu duluan. Dan soal omongan mereka kalau Marvel yang harus mereka hindarin itu bisa jadi cuma pengecoh supaya kita nggak nuduh Marvel," balas Samuel mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.

"Lo masih tetep nuduh Marvel? Kalau lo nuduh dia, itu sama aja lo nuduh gue," balas Marvin tak suka.

"Lo ngerasa?" tanya Samuel balik.

"Bangsat lo," maki Marvin pelan.

Areksa yang peka kalau kondisi di sekitarnya mulai memanas itu pun mulai mengalihkan pembicaraan. "Selama ini, yang paling menentang keberadaan Diamond dan pengin kita bubar siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan gengnya Raskal?" balas Canva seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Ada dua orang lagi," timpal Farzan membuat mereka semua saling pandang.

"Orang tuanya Ilona," ujar mereka dengan kompak.

*****

Ilona membuang pandangannya ke arah lain saat Alana dan kedua orang tuanya datang menghampirinya. Ini adalah hari ketiga dirinya dirawat di rumah sakit tetapi mereka baru mengunjungi dirinya. Setidak penting itukah Ilona sampai kedua orang tuanya seperti tidak khawatir dengannya sedikit pun?

"Hai, Na. Maaf aku sama mama papa baru jenguk kamu," ujar Alana dengan sorot mata bersalah. Ia hendak menyentuh Ilona namun saudara tirinya itu dengan cepat menepisnya.

Melihat tingkah kasar Ilona tentu membuat Gina menatap anaknya itu dengan kesal. "Jaga sikap kamu, Ilona. Mama nggak pernah ngajarin kamu buat kasar sama Alana!" katanya dengan nada sedikit meninggi.

Alana menyentuh tangan Gina dengan lembut. "Ma, Ilona lagi sakit. Mama jangan gitu sama dia."

Gina menarik napas panjang untuk menetralkan emosinya.

"Ini akibatnya kalau kamu nggak dengerin omongan papa, Ilona. Kalau aja kamu nggak ikut-ikutan geng sialan itu, pasti kamu nggak akan kayak gini. Mereka cuma pembawa sial dan kerusakan buat kamu," ujar Rean menasihati Ilona.

"Kerusakan Papa bilang? Justru kalian yang bikin kebahagiaan Ilona rusak!" balas Ilona tidak terima.

Rean berdecak pelan. "Mereka itu bahaya. Musuh kalian pasti ada di mana-mana. Kalau kamu masih tetep sama mereka, itu sama aja kamu masuk ke kandang buaya."

AREKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang