𝚃𝚎𝚊-𝙱𝚛𝚎𝚊𝚔 𝙲𝚎𝚛𝚙𝚎𝚗 "𝚂𝚞𝚍𝚊𝚑𝚕𝚊𝚑 𝙺𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑𝚔𝚞, 𝙻𝚞𝚔𝚊 𝙸𝚗𝚒 𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊"

Start from the beginning
                                    

Hubungan kami mulai retak ditahun terakhir perkuliahan, semakin akun mengacuhkannya semakin insting liarku memanduku ke jalan yang bertolak jauh ke arahnya. Khalwa pun menemukan hiburannya sendiri bersama tim volunteer-nya, ia sering bepergian ke luar kota untuk menangani permasalahan pelecehan seksual.

Tapi ke mana pun ia mengembara, Khalwa selalu tahu jalan pulang menuju sarang kecilku. Setelah melepaskan penat mengejar cakrawala di pulau lain, ia akan mengunjungiku dengan seperangkat cenderamata yang terselimuti kertas kado berwarna abu-abu polos. Setelah kulucuti lembar demi lembar kertas abu-abu itu, ia akan mulai membanjiriku dengan cerita dibalik cenderamata yang ia hadiahkan. Aku tak ingin berbohong, tapi ia wanita yang pandai, ia salah satu aset terbesarku untuk menuliskan kata-kata di dalam setiap karya yang aku lahirkan di dalam kost sempitku.

Ada kejadian cukup aneh ketika selepas wisuda ia mengajakku untuk ikut di kegiatan volunteer-nya kala itu, ia membujukku dengan iming-iming bahwa mungkin saja aku akan menemukan inspirasi baru dari perjalanan itu. Awalnya aku setuju saja, kami mulai menyiapkan semua perbekalan yang dibutuhkan. Tapi menjelang keberangkatan kami, pak sulaiman memintaku untuk pulang menemuinya. Ia ingin menyampaikan pesan khusus untukku yang tidak bisa ia sampaikan lewat telepon. Aku dirundung kebimbangan yang rumit. Ini kesempatan yang sempurna untuk menyatukan retakan jalinan asmaraku bersama Khalwa, setelah di terjang badai 1 tahun terakhir.

Tapi, pak sulaiman sepertinya memiliki hal yang berharga untuk di sampaikan, mungkin saja ia ingin berdamai denganku dan ingin memulai menyulam lembaran baru bersama anak lelaki semata wayangnya. Tanpa berpikir lama, aku bergegas menuju kediaman pak sulaiman dan meninggalkan Khalwa bersama gerombolan volunteer lainnya.

Setibanya di rumah, kudapati ibu sedang menyirami tanamannya, ia sedikit terkejut mendapatiku berada di depan rumah. Aku meneruskan langkahku melintasi ibu yang hanya tersenyum menyapaku. Seperti biasa, pak sulaiman sedang berada bilik kerjanya sembari membaca tumpukan kertas di depannya.

Ia menyambutku dengan sedikit berbeda dari biasanya, kami terduduk diam untuk beberapa saat, sampai ia melahap habis halaman terakhir dari kertas yang sedang ia genggam. Sembari megangguk-angguk, pak sulaiman mengatakan kalau ia akhir-akhir ini sibuk membaca tumpukan kumpulan sajak dan cerpen yang ditulis oleh anak lelakinya, aku sontak terkaget, bukannya aku menyimpannya di kamar kostku. Gerombolan pertanyaan mulai menyerbu isi kepalaku, pak sulaiman mengatakan jika itu di kirimkan kepadanya 4 hari lalu.

Ini benar-benar tidak wajar, siapa yang mengirimi semua hasil karyaku kepada pak sulaiman? Ahh, hanya aku saja yang memiliki akses ke kamar kostku, tunggu dulu, ada satu orang lagi yang memiliki kunci serep kamarku. Khalwa, mungkin kah dia yang melakukannya. Itu tidak penting sekarang, aku penasaran mengapa pak sulaiman repot-repot menghubungi hanya karena mengenai perihal ini. Ia sebelumnya tidak pernah menghubungiku selama aku meninggalkan rumah ini untuk berkuliah.

Pak sulaiman mulai melanjutkan kata-katanya setelah kabut kebingungan tercerminkan dari raut wajahku. Ia mengatakan jika ia menyukai apa yang aku tuliskan, ia menambahkan juga bahwa aku tidak sia-sia mengambil jurusan sastra inggris. Ia tidak pernah terpikir bahwa aku bisa menuliskan ide-ide luar biasa seperti yang dibacanya. Kebahagiaan yang rumit menjangkiti semua kesepianku selama ini, aku tidak pernah mendapatkan pujian dari sosok Ayah.

Pak sulaiman memintaku untuk melanjutkan karirku di bidang tulis menulis, ia akan mengenalkanku ke beberapa kerabatnya, juga ia akan mengusulkan untuk melanjutkan pendidikanku ke Jerman dan akan membiayai semua dananya. Ia ingin aku mendapatkan pendidikan yang layak di bidang sastra.

Aku menjawab, bahwa Aku harus memikirkannya terlebih dulu. Hari itu, kami bercerita banyak tentang karya-karyaku hingga menjelang malam. Pak sulaiman memintaku tinggal beberapa hari di sini, ia ingin kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama juga bertemu dengan rekan kerjanya. Aku setuju saja.

Hari-hari kami lewatkan di ruang kerja pak sulaiman, suara mesin ketik kami saling berburu satu sama lain, berlomba-lomba untuk menyelesaikan tiap bait yang meronta-ronta untuk sampai ke penghunjung halaman.

1 minggu kemudian, suara telpon membawaku kembali ke kehidupan nyata. Aku bergegas menyambar handphone-ku yang terkapar di ruang tamu, mungkin itu Khalwa. Sudah beberapa hari ia tidak mengabariku, mungkin api kekesalannya mulai meredup. Aku ingin mengucapkan terimakasih dan juga permohonan maaf telah membatalkan janjiku untuk ikut dengannya. Aku akan mengajaknya bervakansi bulan depan untuk memperbaiki semua kesalahanku.

Ku angkat panggilan itu, namun tidak kudapati suara parau Khalwa di dalamnya. Melainkan suara rekan volunteer-nya yang mengabarkan bahwa aku harus segera menghubungi pihak keluarga Khalwa, mereka menghubungiku karna riwayat panggilan terakhir yang berada di handphone-nya adalah nomorku.

Mereka menemukan jasad Khalwa terbaring kaku di hutan setempat dengan kondisi mengenaskan tanpa sehelai pakaian. Berdasarkan temuan dari polisi setempat, ia mungkin merupakan korban pemerkosaan, reruntuhan amarah dan benci bergejolak di ubun-ubun kepala juga perutku, sisa-sisa makanan di dalam tubuhku termuntahkan.

Sebelum mereka menyelesaikan percakapan di ujung sana, aku hanya duduk terdiam mengulang semua gelak tawa Khalwa di dalam kepalaku. Mereka pasti salah, aku yakin itu. Aku kembali keruang kerja pak sulaiman dan bersikap seperti biasa, sambil melanjutkan ketikanku yang ku tinggal. Hampir seluruh bagian dariku percaya akan berita itu, meski aku berpura-pura menganggap ia baik-baik saja dan akan segera pulang dengan bingkisan cenderamata seperti biasanya.

Tapi yang tiba hanyalah sajadnya, suara amplifier masjid yang berada tidak jauh dari rumah juga menginformasikan duka kehilangan sosoknya. Aku makin mulai membenci diriku saat itu juga, bagaimana aku begitu saja mengabaikannya hari itu, aku meninggalkannya tanpa kata-kata, bahkan aku tidak menghubunginya setelah apa yang ia perbuat untukku. Rasa sesal tertinggal bak ampas teh. Luka itu masih aku bawa sampai saat ini, ia enggan terkikis di makan waktu.

Pak sulaiman memaksaku untuk terus menulis dan tidak peduli dengan duka yang harus ku emban, lama-kelamaan setelah Khalwa di kandung bumi. Aku mengikuti anjuran pak sulaiman ke Jerman, disana Aku hanya terus menerus menulis, beberapa karyaku mulai di bukukan dan dilirik penerbit nasional dan internasional. Hingga aku betul-betul hanyut ke dalam lingkaran yang pak sulaiman ciptakan agar aku terlahir bagaikan reinkarnasi mudanya.

Aku perlahan tapi pasti bersikap sepertinya. Ibu yang menyadari itu, menasihatiku untuk berhenti dan menemukan apa yang aku inginkan, ia enggan pak sulaiman mengubahku menjadi wujud yang serupa dengannya. Butuh 2 tahun bagiku agar merampungkan semua puzzle yang ingin kugapai agar dapat merelakan luka dan kebencian diriku.

Aku ingin menjadi wujud diriku sendiri tanpa bayang-bayang pak sulaiman, aku menerima kenyataan jika hubungan kami tidak mungkin bisa senormal keluarga lain. Aku kembali ke kost lamaku dan meninggalkan sepucuk surat untuk pak sulaiman agar tidak membebankan keinginannya lagi padaku. Mulai saat itu, ia tidak pernah lagi menghubungiku, dan setiap aku berkunjung, ia hanya mengurung dirinya di ruang kerja seperti biasa. Hanya ada aku dan ibu yang sekali-kali bertukar sapa dan cerita.

Pak sulaiman atau ayahku di makamkan di satu lokasi pemakaman dengan Khalwa, rasa benciku kepada pak sulaiman mungkin akan tercampur aduk seperti adonan kue ulang tahun di dalam goresan luka yang Khalwa tinggalkan. Yang entah kapan dapat benar-benar pulih.

Mr.Tea 31 Maret 2021 [08:38]

The Poems Mr.Tea Write at Night [Versi Indonesia]Where stories live. Discover now