Malam Pertama Yang Hambar

9.8K 497 15
                                    


---

Antara cemas dan gugup, mataku tak berhenti menatap Yumi yang mulai gelisah. Dia mengipasi dirinya sendiri seperti kepanasan padahal malam amat dingin. Berulang kali dia melepaskan nafas panjang.

Sengaja kukunci pintu kamar dan mencabut kuncinya. Aku tak ingin dia malah ke luar dan mencari Laura.

"Apa yang kau masukkan ke minumanku?" Yumi bertanya dengan napas terputus-putus. Tatapannya redup, hampir menangis.

Nyaliku ciut, ada penyesalan. Bukan, bukan seperti ini harusnya, aku memiliki agama yang kuat, apa artinya dia merasakan percikan itu tapi tak terjadi secara alami.

"Sial!" Dia mengumpat. Meninju dinding kamar kami. Dia mencakar dirinya sendiri.

Aku bergerak menghentikan tangannya.

"Maafkan aku!"

"Kau ...." Dia menunjuk wajahku. Kemudian menangis. Baru pertama kulihat dia menangis. Menangis putus asa.

"Aku akan menolongmu ...."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Malam pertama yang telah tertunda selama setahun itu terjadi juga. Tapi aku merasa sangat kecewa, Yumi tak lagi memiliki penghalang layaknya perawan pada umumnya.

***

Paginya, aku mendapati Yumi sudah segar dengan rambutnya yang basah. Dia seakan melupakan kejadian semalam, buktinya dia menyiapkan sarapan seperti biasanya.

Tinggal aku yang penasaran, perasaan kecewa yang amat besar melanda hatiku. Bukankah kata orangtuaku Yumi baik? Akan tetapi, apa yang aku dapati jelas saja sangat mengecewakan. Suami mana yang akan menerima, saat dia menjaga diri selama ini, tapi mendapati istri yang tak lagi suci.

Aku mengamati punggung Yumi yang bergerak di depan kompor.

"Maaf, bawang gorengnya habis." Dia meletakkan dua porsi nasi goreng lengkap dengan toping bakso dan telur dadar. Masakannya tak pernah mengecewakan.

Kuamati wajahnya yang makin dingin, kutahu dia pasti amat marah, tapi sepertinya dia tak mau mengungkit apa yang semalam terjadi.

"Masalah semalam ...."

Yumi meletakkan sendoknya agak keras di atas piring, sehingga bunyi dentingan itu terdengar keras.

"Jangan bahas apa pun!"

"Aku memang menaruh obat diminumanmu."

"Aku tau, karena ini bukan pertama yang terjadi padaku." Dia mengangkat piring nasi gorengnya yang masih penuh. Aku tak tau pasti, berapa sendok yang baru masuk ke mulutnya.

Aku bangkit, menysulnya ke westafel. Kucekal lengannya membuat dia berbalik.

"Apa lagi?" Dia menengadah. Matanya berkaca-kaca.

"Katakan! Apa yang terjadi?"

"Jangan terlalu banyak tahu tentangku, Mas. Kau hanya akan terluka, karena aku takkan pernah pantas untukmu." Bibirnya bergetar. Satu tetes air mata berhasil turun dari kelopak matanya yang indah.

"Tak ada yang bisa kubanggakan padamu, selain kemampuanku dalam memasak. Sekarang kau menyesal, kan? Apa yang kau harapkan tak ada padaku."

Yumi mengusap air matanya. Semalaman aku berpikir, merasa kecewa dan bodoh. Akan tetapi, wanita itu masih menutup diri dan membuatku hanya bisa menerka-nerka.

"Antarkan aku ke rumah orangtuaku, aku ingin istirahat selama tiga hari."

"Aku akan ikut menginap."

"Mas," cegahnya. Suaranya mencicit, seakan begitu lelah.

"Aku ingin berdiskusi dengan Ayahmu, apakah melanjutkan pernikahan ini atau tidak."

Yumi memucat.

"Ya, aku sudah menduga itu akan terjadi."

"Kalian telah menipuku, aku berhak mendapatkan penjelasan."

Aku meninggalkan Yumi di dapur, mengambil bekal makan siangku lalu pergi bekerja. Kata orang malam pertama terasa manis, apanya yang manis, sepanjang waktu Yumi menangis dan aku seperti orang gila yang bertingkah seperti pemerkosa.

Ranjang AyumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang