Titik Terang

6.4K 477 12
                                    

"Ibuku menyuruh kita ke rumah," kata Yumi setelah kami makan malam. Memang, kami jarang berkunjung ke rumah orangtua Yumi, tapi sering berkunjung ke rumah orangtuaku.

Entah perasaanku saja, Yumi terlihat tak begitu dekat dengan ke-dua orangtuanya. Atau dia memang dingin pada semua orang? Entahlah.

"Ibu tadi menelpon, apa aku sudah hamil."

Aku berhenti mengunyah. Menatap wajah datar Yumi. Dia memang anak satu-satunya, pasti ibunya mengharapkan cucu.

"Lalu, kau bilang apa?"

Yumi mengedikkan bahunya.

"Kubilang, belum, karena belum rezeki."

"Walaupun sebenarnya kau tak berniat, kan?"

Yumi mengangkat wajahnya, menatapku agak lama. Tatapan datar tanpa perasaan seperti sebelumnya.

"Tidak, aku tidak berniat memiliki anak."

"Kenapa, kenapa, Yumi?!"

Ada gejolak kemarahan di dadaku mendengar pengakuan wanita yang menjadi istriku itu. Bagaimana bisa dia tak berniat untuk punya anak sedangkan dia memiliki suami yang mengharapkan keturunan?

"Aku tak suka anak kecil, anak kecil sangat merepotkan, anak juga akan membuat tubuh melar dan tak kencang lagi."

"Alasan gila," sahutku. "Wanita sejati, takkan pernah menolak untuk punya anak, karena status seorang Ibu, adalah status yang sangat diimpikan para wanita. Aku tak percaya ini." Kugelengkan kepalaku berulangkali.

"Dan aku, bukan termasuk wanita itu." Dia menjawab tegas.

Amarah di dadaku terasa membakar, tanpa bisa kutahan, aku bangkit mendekatinya, mencekal lengannya dan menariknya ke hadapanku. Dia meronta, tapi aku mengenalnya sekuat tenaga sehingga dia meringis kesakitan.

"Aku menginginkan anak, kau istriku, maka kau yang akan melahirkannya. Kau mengerti?!"

"Lepas!"

"Aku punya batas sabar, semua keanehanmu akan kucari tahu. Termasuk, kedekatanmu dengan Laura. Aku mencium gelagat tak wajar di antara kalian."

"Lepas! Sakit." Dia meringis.

Bibir mungil yang selalu berkata dingin, aku ingin tau, apa lagi keahliannya selain itu. Entah setan dari mana, kutarik tengkuk Yumi, membungkam mulut itu dengan caraku yang masih amatir. Rasanya manis, kemudian ... Sakit.

"Auhh!" ringisku, Yumi mengigit, bibirku mengeluarkan cairan yang sempat tercecap, asin. Pasti darah.

"Jangan menyentuhku!" Dia menatapku tajam. Pandangan murka dan amat marah. Bahkan dia menghapus kasar bibirnya sendiri.

"Kau milikku, selagi kita terikat pernikahan, kau hak-ku. Aku bisa saja merampasnya dengan paksa." Kali ini kami akan bertengkar hebat.

"Jangan macam-macam, Adit!" ancamnya. Dia memanggilku tanpa sebutan 'Mas', artinya dia amat marah. "Aku tak pernah meminta apa pun darimu, jangan minta apa pun dariku. Karena aku tak akan memberikannya."

Seharusnya aku menceraikan wanita ini, bukan? Akan tetapi aku malah tertantang untuk menaklukkannya.

Kuusap bibirku yang masih berdarah. Yumi masih melemparkan tatapan permusuhan. Baru saja aku ingin menjawab perkataannya. Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian kami.

"Aku pulang!" Sang pemilik suara sampai di depan kami, bahkan masuk tanpa menunggu dibukakan pintu.

Mata Yumi yang tadi garang, sinarnya meredup, malah berganti dengan tatapan hangat. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Laura menatapku, dia sempat melihat ke arah bibirku yang berdarah. Lalu menatap ke arah Yumi dengan pandangan masam.

"Aku lapar, apa kau sudah memasak, Yumi?" tanya dia santai. Yumi tak menjawab, tapi dia berjalan ke arah dapur, mengambil piring dan gelas baru.

Tinggal aku dan Laura.

"Kenapa kembali? Tak bisa berpisah dengan kekasihmu? Dia sangat ganas. Lihatlah!" Kupamerkan bibirku yang terluka.

Mata Laura berkaca-kaca. Ya, aku mulai menemukan titik terang. Laura cemburu.

Ranjang AyumiWhere stories live. Discover now