10 : peralihan

154 32 3
                                    

Soal adanya hubungan antara Ghazi dan Husein, aku belum dapat petunjuk lagi. Selain karena Ghazi tidak mau membahasnya, aku pun sedang sibuk dengan dunia baru yang kumulai. Berkutat bersama kamera, dengan harapan aku bisa mengalihkan diri dari pikiran-pikiran tentang mau ke mana usai lulus mondok.

Aku memilih tidak bergabung bersama Umar, Ajis maupun Ghazi sendiri. Aku benar-benar memilih menyendiri untuk bisa lebih leluasa menggunakan kamera berkualitas minim ini. Hanya membidik pada objek yang terlihat menarik, walau hasilnya jauh dari kata menarik. Ghazi benar soal jeleknya gambar yang kuambil.

Kuhela napas. Masih dengan pikiran yang sama. Dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup teman-temanku juga sama tidak sempurnanya seperti aku. Semua orang hari ini ternyata punya nilai kehidupan yang sama. Saling mencari jati diri. Sama-sama mencari tujuan akan kemana.

Aku sempat dengar dari saudara Papa, katanya orang-orang yang lulusan pondok biasanya akan kaget melihat realitas dunia nyata. Karena selama di Pondok mereka punya lingkungan yang bagus. Agaknya aku pun jadi khawatir semisal ke luar dari tempat ini. Bagaimana kalau pada akhirnya aku berakhir menjadi orang brengsek?

Cepat kugelengkan kepala.

“yang penting jadi manusia yang bermanfaat aja dulu,” kata-kata Ghazi tidak bisa langsung diterapkan. Apanya yang jadi bermanfaat? Masa depan setelah hari ini adalah saat di mana aku—kami, akan menyusahkan orang tua kami lebih banyak lagi.

Biaya kuliah itu, kan mahal? Lalu apakah ada jaminan untuk mengembalikan apa yang sudah dibayarkan? Ujung-ujungnya dunia dewasa menawarkan diri untuk memasuki dunia pekerjaan. Pada akhirnya kesibukan manusia hanya berpusat pada itu-itu saja. Lantas, apa gunanya impian?

Aku merasa jadi seperti Ghazi, dengan pikiran rumitnya. Mungkin seharusnya pilihanku waktu itu sesederhana keinginan Ghazi, masuk SMK langsung siap kerja, tidak membuang uang banyak, tidak membuang banyak waktu. Impian bisa dicari sembari menjajal dunia kerja yang lebih awal. Ya, walaupun kenyataannya memang masa depanku ini sudah disetir orang tuaku sejak awal.

Lagi napas terhela. Kepalaku terdongak ke langit. Awan yang bergerak. Membuatku jadi tertarik merekamnya dalam durasi sekian detik. Saat kudapati hasilnya cukup bagus, aku kembali merekamnya lagi. Kali ini ada burung yang tertangkap, sedang melintas. Hatiku terkejut, sesaat. Aku beranjak ke tempat lain, untuk merekam hal-hal yang mungkin menarik.

Pada rimbunnya daun-daun pepohonan yang diembus angin sepoi. Pada rumput-rumput yang bergoyang. Pada langkah kakiku sendiri. Terakhir aku berbaring di atas kursi taman, sambil melihat-lihat hasil footage yang kurekam. Entah akan jadi apa nantinya ini, aku belum tahu.

“Oi,” suara khas itu mengagetkanku. Kemunculan Ghazi yang tiba-tiba membuat aku sadar bahwa untuk seperkian menit tadi, aku pasti sedang melamun hingga tidak menyadari kedatangannya.

“Nggak balik ke kelas?” tanya Ghazi. Harusnya ada kelas tambahan khusus kelas 6. Sebentar lagi ujian demi ujian akan menantang kami. Aku malah tampak santai seolah tak ada persiapan. Padahal Ghazi tahu benar bahwa aku adalah orang yang tak akan santai bila menghadapi ujian sekolah.

Aku beranjak duduk, jadi Ghazi bisa duduk juga.

“Kelas tambahan mulai habis Dzuhur nanti katanya,” ucap Ghazi setelah duduk. Dia kemudian meneguk air mineral yang dibawanya. Cuaca terik menuju pertengahan hari membuat siapapun mudah haus. Termasuk aku. Sayangnya ketidakpekaan Ghazi memang pantas diacungi jempol. Pantas Mey sering memarahinya.

“Kau memang nggak ada niatan jujur samaku soal masalahmu itu, ya, Ji?” aku malah membuka topik lain. Aku sedang tidak tertarik dengan kelas tambahan, toh isinya cuma belajar saja.

“Masalah yang udah lewat ngapain dibahas lagi? Rambutku juga udah tumbuh, kan?” dia menjawab santai.

Aku menempeleng kepalanya, Ghazi melotot. Dia tidak pernah menyukai tindakan seperti itu, jadi dia langsung membalasnya, dengan botol air mineralnya. Memang tak punya belas kasihan.

“Namanya aku juga khawatir, bisa aja yang dituduhkan Umar memang betul, kau jadi berandalan.”

Ghazi tertawa tanpa suara.

“Nggak nutup kemungkinan, kan lulusan pondok jadi orang jahat di masa depan? Karena terlalu stres sama realitas yang nggak sesuai harapan misalnya.” Aku jadi membuka diskusi—yang biasa kulakukan dengan Ghazi saat mengobrol.

Ghazi tak menyahut, tapi aku yakin dia sedang mikir. Karena ekspresi wajahnya semakin serius.

“Jangan bikin seolah-olah framing-nya kayak gitu.”

Aku yang berubah tak paham.

“Dalam hidup ini, kita bisa bikin pilihan. Jadi, bukan salah ‘lulusan pondok’ atau lulusan apapun, tapi pilihan seseorang lah yang nentuin takdirnya.”

Aku mendecak. Buku-buku yang dibaca Ghazi pasti lebih banyak dari yang kutahu. Kadang aku merasa cara pikirnya tidak sesuai dengan usianya yang sepantaran denganku. Aku meninju lengannya, tanda apresiasi.

“Udahlah kau tulis aja kata-katamu itu jadi buku.”

Ghazi tersenyum, hanya segaris saja. “Malas,” katanya, sebagai jawaban yang membuktikan dia adalah Ghazi yang tidak suka hal-hal merepotkan.

Tidak ada percakapan apapun lagi setelah itu. Saat suara adzan terdengar, aku dan Ghazi beranjak ke masjid.

HazeWhere stories live. Discover now