09 : puzzle masa lalu

129 26 2
                                    

Acara MTQ dimulai sejak pagi hari. Sepanjang waktu aku hanya terfokus pada kapan acara ini akan segera berakhir. Sebab memang berbeda saat hanya menjadi penonton dalam acara. Menunggu itu memang selalu membosankan. Beda mungkin kalau kita ikut berperan, mana bisa tenang. Seperti Umar yang saat ini sedang menunggu giliran. Giliran Umar masih lama. Dia hanya fokus pada mushaf di tangannya. Membaca dengan suara samar-samar.

Sesekali aku menguap, lalu terkantuk. Pada bangku di sebelahku, Ajis malah sudah mendengkur. Anak satu ini memang nggak pernah bisa lihat situasi kalau tidur. Ghazi, aku melihatnya menunduk ke arah buku. Kukira membaca, rupanya dia juga tidur. Jadi, aku bukan satu-satunya yang mengantuk.

“Memang banyak setannya lah kita ini, ya,” ucapku pelan—dan tentu saja tak terdengar bahkan oleh diriku sendiri karena suara tilawah Al-Quran di penjuru ruangan menyamarkan semua suara-suara yang ada di sekitarnya.

“Aku mau ke toilet bentar,” pamitku pada Umar yang terjaga. Dia mengiyakan.

Saat akan pergi, tanpa sengaja aku menyenggol kaki Ghazi karena ruang yang sempit. Dia terbangun, setengah kaget. Aku hanya mengucap maaf singkat padanya. Dia pun bertanya aku mau ke mana. Kujawab sesuai apa yang kukatakan pada Umar. Tak kusangka Ghazi malah ikutan.

Selesai dengan urusan di toilet, aku menuju area wudhu. Berwudhu bisa menghilangkan kantuk, insya Allah. Ghazi pun mengikuti apa yang kulakukan.

Harusnya kami kembali ke area aula, namun aku enggan. Udara di luar yang lumayan sejuk oleh angin berembus. Langit sedang cerah. Sinar matahari terasa hangat. Tanpa sadar aku jadi mendongak, setengah melamun memandang awan-awan bulat yang bergerak, yang bentuknya kemudian berubah.

Jari-jariku membentuk bingkai. Memerangkap footage yang terekam oleh mata.

“Nggak balek ke sana?” tanya Ghazi.

Aku tak menjawab. Malah tersenyum melihat apa yang tertangkap dalam bingkai jari-jariku.

“Heh!” Ghazi menyenggol punggungku, hingga aku tergeser dari posisiku berdiri dan mendongak. Membuyarkan pemandangan sederhana yang sedang kulihat.

“Apa, sih?!”

“Aku tanya kau nggak balek ke sana?”—sana yang dia maksud adalah ruang aula.

“Iya, bentar. Ada yang menarik, nih.” Aku kembali membuat bingkai dengan jari-jariku. Ghazi melihatku dengan tatapan anehnya yang sudah pasti datar-datar saja.

“Mulai hari ini, aku akan cari jalanku sendiri, Ji.” Ucapaku yang tiba-tiba ini pasti terdengar konyol, tapi biarlah, aku sedang mencoba meyakinkan diri.

Ekor mataku hanya menemukan anggukan kecil dari Ghazi. Aku jadi menoleh, karena tadinya aku berharap dia akan senang. Tapi aku lupa sahabatku ini adalah Ghazi yang minim ekspresi dan tidak akan pernah sesuai dengan harapanku.

“Ya udah, semangat lah ya.” Itu saja katanya, lalu beranjak pergi.

“Oi, Ji! Bilang kata-kata yang lebih memotivasi kenapa?!” aku mengejar langkahnya.

“Malas.”

Tapi aku hadiahkan dia rangkulan kuat yang membuatnya kesal. Aku hanya tertawa. Tidak sabar untuk kembali ke pondok dan menghubungi mama.

***


Sebelum menghubungi mama, aku harus mengkonfirmasi satu hal dulu pada bagian keamanan, boleh tidaknya aku meminta apa yang kuinginkan saat ini. Jadi aku pergi ke ruang keamanan seorang diri. Namun sesampainya di sana, aku harus menunggu dulu karena Ustadz yang menjadi kepala keamanan sedang ada urusan dengan santri—begitu info yang kudapatkan dari staf kantor. Jadi aku cuma bisa menunggu. Mumpung masih jam istirahat juga.

Pintu konseling terbuka, seorang santri ke luar dari sana. Dia bertubuh kurus dan agak pendek. Kepalanya menunduk dengan raut muram. Ustadz Nurdin menepuk pelan bahunya, seperti memberikan penghiburan. Tapi itu tak berefek banyak pada santri berwajah muram itu.

Melihat dari postur tubuhnya yang kecil, aku mengira-ngira dia mungkin santri tahun pertama yang bermasalah homesick. Karena aku sempat dengar Ustazd Nurdin menyinggung soal kata ‘betah’ tadi. Ah, aku juga pernah merasakan saat-saat tidak betah itu di awal masuk pondok. Lucu juga kalau mengenangnya.

“Nggak apa-apa, kalau pun mereka ganggu lagi biar coba saya teruskan masalah ini ke atas,” lagi, aku mencuri dengar. Ya, aku memang kebetulan mendengar bukan sengaja menguping, karena mereka memang sedang berjalan ke arah pintu ke luar, di mana aku duduk tidak jauh dari sana.

“Bang Goji nggak salah, Ustadz.” Ucap santri itu, yang kali ini membuatku kaget. Dia bicara soal Ghazi yang sama dengan orang yang kukenal, bukan? Ghazi sahabatku, bukan? Si muka datar itu? Aku jadi berpikir kira-kira ada berapa banyak santri yang punya nama yang sama dengan Ghazi, tapi santri satu ini menyebut nama Ghazi dengan ‘Goji’ yang mana pasti akan mengarah pada satu orang saja, kan? Yaitu, Ghazi yang kukenal.

“Soal itu kita belum bisa pastikan, Husein. Sabar, insya Allah Ustadz proses.”

Husein—santri berwajah muram itu pun memutuskan untuk diam dan pamit pergi. Setelah itu barulah perhatian Ustadz Nurdin tertuju padaku.

“Nah, kau sendiri ada masalah apa?” tanyanya.

Aku tersenyum aneh. Beliau pasti akan terkejut, kan kalau aku tertarik dengan apa yang dibahasnya dengan santri tadi. Jadi, aku hanya menanyakan soal urusanku saja saat ini. Tapi, aku yakin nanti ini akan jadi hal yang akan kutanyakan pada beliau.

HazeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora